BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kewajiban generasi
muda adalah melestarikan warisan dari para pendahulunya, warisan Ilmu dan
budaya yang bermanfaat bagi kehidupan ini. Negeri Eropa, Cina, India, Jepang
adalah negara-negara yang sangat menghormati pendahulunya, mereka rajin
mendokumentasikan pernik-pernik ilmu dan budaya sehingga bisa diwarisi hingga
kini.
Berbicara
mengenai kempemimpinan/leadership kita tidak lepas dari dua kata
kapabilitas (kemampuan) dan akseptabilitas (diterima). Pada dasarnya hanya ada
dua pilihan bila kita hidup dalam suatu perkumpulan, yakni sebagai Pemimpin
atau sebagai yang dipimpin yang lazim di sebut anggota. Sebagai anggota yang
baik, kita harus memiliki loyalitas, patuh dan taat pada perintah atasan
sebagai pemimpin dan rela berkorban serta bekerja keras untuk mendukung atasan
dalam pencapaian tujuan yang dalam ajaran agama Hindu, disebut Satya Bela
Bhakti Prabhu.
Sedangkan
sebagai pemimpin, harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin
(kapabilitas) serta dapat diterima oleh yang dipimpin ataupun atasannya
(akseptabel). Menurut falsafah bali ada yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus
disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar
(Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika)
Kemampuan
dalam arti mampu memimpin, mampu mengorbankan diri demi tujuan yang ingin
dicapai, baik korban waktu, tenaga, materi dll serta dapat diterima, dalam arti
dapat dipercaya oleh anggota masyarakatnya dan pejabat yang di atasnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini menjelaskan
tentang falsafah Tri Kaya Parisuda sebagai landasan menjadi seorang pemimpin
dan sikap seorang pemimpin dalam penyelesaian konflik yang terjadi.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk menyelesaikan tugas
pelatihan kepemimpinan,
2. Memahami
tentang falsafah Tri Kaya Parisudha sebagai landasan seorang pemimpin.
3.
Mengetahui cara untuk penyelesaian konflik yang terjadi.
BAB II
Pembahasan
2.1 Kriteria Pemimpin
Sebagai
seorang pemimpin wajib memilik prinsip dasar yang menjadi pegangan, tidak
sembarang orang bisa menjadi seorang pemimpin, adapun kriteria seorang pemimpin
menurut kitab Niti Sastra:
- Abhikamika
Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi ke bawah dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak dari pada kepentingan pribadi atau golongannya. - Prajna
Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana dan menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama serta dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya. - Utsaha
Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat. - Atma Sampad
Pemimpin mempunyai kepribadian : berintegritas tinggi,
moral yang luhur serta obyektif dan mempunyai wawasan yang jauh ke masa depan
demi kemajuan bangsanya.
- Sakya Samanta
Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi
bawahan (efektif, efisien dan ekonomis) dan berani menindak secara adil bagi
yang bersalah tanpa pilih kasih/tegas.
- Aksudra Pari Sakta
Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan
dengan permusyawaratan dan pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan dan
rakyatnya.
Saat ini
negeri kita mangalami krisis para pemimpin sejati, yang bener-benar memimpin
menggunakan logika dan hati, menggunakan keahliannya memimpin guna mewujudkan
tujuan bersama yaitu kemakmuran dan sejahteraan bersama.
2.2 Falsafah
Kepemimpinan di Bali
Menurut orang bali yang mayoritas beragama
hindu memiliki falsafah yaitu “TRI KAYA PARISUDHA” yang artinya adalah Tri
berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku;
sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi
"Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga
perbuatan atau prilaku kita". Jadi Sebagai seorang pemimpin harus memiliki
pemikiran yang jernih terlebih dahulu supaya dalam membuat kebijakan dapat
mensejahterakan masyarakat dan dalam bertutur kata yang baik karena seorang
pemimpin menjadi panutan bagi anggotanya serta memiliki perilaku yang baik.
Tri Kaya Parisudha terdiri dari 3
bagian yaitu:
1.
Penyucian pikiran (manacika)
2.
Penyucian perkataan (wacika)
3
Penyucian perbuatan (kayika)
2.2.1
Manacika
Inilah tindakan yang harus
diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar
dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang
murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang
disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita,
walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu
permasalahan, amat tergantung padacara kita memandang serta cara kita
menyikapinya.
Bila pandangan kita sempit dan gelap,
semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang,
segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata,
penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan
lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu
keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak
dapat menangkapnya dengan objektif.
Pandangan kotor akan menampakkan objek
kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan
memandang berbagai fenomena hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi
ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta berbagai kondisi-kondisi pikiran
negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor
dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu hanya kita sendiri yang dapat
membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak ada makhluk dari
alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita sendiri tidak
bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi, tentu tak mungkin
menyucikan siapa-siapa".
Untuk menyucikan pikiran, perlu
memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan
pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat
dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak
kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam
batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan
akhir.
Tiga macam implementasi pengendalian
pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Kitab
Saracamuscaya, adalah:
1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak
layak atau halal.
2. Tidak berpikiran negatif terhadap
makhluk lain.
3. Tidak mengingkari HUKUM KARMA PHALA.
Demikianlah disebutkan didalam salah
satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah
bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal,
dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan
suci.
2.2.2
Wacika
Terdapat empat macam perbuatan melalui
perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:
1. Tidak suka mencaci maki.
2. Tidak berkata-kata kasar pada
siapapun.
3. Tidak menjelek-jelekan, apalagi
memfitnah makhluk lain.
4. Tidak ingkar janji atau berkata
bohong.
Demikianlah
disebutkan dalam Kitab Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa
sebetulnya semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita
harus dapat menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
2.2.3
Kayika
Penyucian
perbuatan fisik dan perilaku (KAYIKA).
Terdapat
tiga hal utama yang harus dikendalikan, yaitu:
1. Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi
membunuh-bunuh makhluk lain.
2. Tidak berbuat curang, sehingga berakibat
merugikan siapa saja.
3. Tidak berjinah atau yang serupa itu.
Demikianlah sepuluh hal penting dalam
pelaksanaan Tri Kaya Parisudha sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam kitab
Saracamuscaya. Pengamalan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari sangat
diperlukan untuk membentuk karma serta hubungan yang baik antar sesama.
Menurut pemaparan diatas berawal dari
pemikiran yang suci maka akan mengeluarkan perkataan dan perilaku yang
suci(baik), seorang pemimpin sangat perlu menerapkan falsafah Tri Kaya
Parisuda,
2.3 Penerapan
Tri Kaya Parisuda
Untuk penerapan ajaran/filsafat Trikaya
Parisuda dalam penyelesaian masalah/konflik yang terjadi. Contoh konflik yang
terjadi diaerah Karangasem-Bali yang tepatnya di Kecamatan Manggis, konflik yang
terjadi karena permasalahan batas desa, antara desa Antiga dengan desa Sedaan.
Konflik ini banyak menimbulkan kerugian baik kerugian materi dan moril, karena
mengakibatkan perang antar desa. Untuk menyelesaikan masalah tersebut Camat
setempat perlu turun tangan unuk menyelesaikan konflik tersebut, Camat sebagai
pemimpin wilayah memiliki tanggung jawab penuh atas kejadian yang terjadi
diadaerahnya. Agar masalah ini bisa selesai didatangkan tokoh adat dan
pihak-pihak yang terkait dari ke-2 desa yang mengetahui sejarah
perbatsan/sejarah desa, sehingga dapat diketahui mana batas desa yang
sebenarnya.
Sehingga camat yang sebagai pemimpin
wilayah memiliki prinsip dasar Tri Kaya Parisuda dapat mebuat kebijakan
berdasar pemikiran yang jernih dan bertutur kata yang baik sehingga
mengeluarakan keputusan batas desa sesuai dari keterangan ke-2 tokoh adat yang
sudah melakukan perundingan dengan camat, dan membuat perjanjian mengenai batas
desa yang ditanda tangani oleh camat setempat.
BAB
III
PENUTUP
3.
Kesimpilan
Dari pemaparan diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa setiap pemimpin ataupun sebagai anggota wajib memiliki
dasar Tri Kaya Parisuda karena sangat dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak(masyarakat) dimulai
dari pemikiran suci dapat mengeluarkan perkataan dan melakukan tindakan yang
benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar