Selasa, 23 Oktober 2012
makalah otonomi daerah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
rumah tangganya sendiri, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan
ini dikenal dengan Otonomi Daerah. Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki sejarah
yang sangat panjang mulai dari jaman kolonial sampai dengan sekarang. Dimulai
dari jaman kolonial yang memberi peluang untuk daerah dibentuknya satuan
pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Pada jaman penjajahan Jepang
semua daerah otonom disebukan memiliki sifat bersifat misleading. Kemudian pada
saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan banyak sekali dikeluarkan undang-undang
untuk mengatur Otonomi Daerah.
Pada era
ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintah
yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang memiliki
urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik,
pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah.
Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal
tersebut tujuan dapat tercapai.
Hal yang
sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan
pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun
dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini
berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa
watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya
pengelolaan pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada
konsep otonomi daerah.
1.2 Tujuan
1. Mengenal apa itu Otonomi Daerah.
2. Mengetahui Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah yang
ada di Indonesia
3. Pelaksanaan Otonomi di Indonesia saat ini.
BAB II
PEMBAHSAN
2.1 Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan
yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan
hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
A. Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan
staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad
No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan
sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan
sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan
demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan
dengan dua administrasi pemerintahan.
B. Masa Pendudukan
Jepang
Ketika
menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki
kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa
tersebut bersifat misleading.
C. Masa Kemerdekaan
1. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada
asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian
daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan
yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota
besar
3) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang
bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari
6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah
di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku
pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI
tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota
besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus
dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3. Periode
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti
dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra
tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra
tingkat II
3) Daerah swatantra
tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan
otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7
November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan
daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II,
dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi
daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat,
terutama dari kalangan pamong praja.
5. Periode
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga
tingkatan yakni:
1) Provinsi
(tingkat I)
2) Kabupaten
(tingkat II)
3) Kecamatan
(tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas
memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani
peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam
dan di luar pengadilan.
6. Periode
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan
mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua
tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara
dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu
kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah
tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat
sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam
UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7. Periode
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam
penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan
asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah
di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa
kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai
perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum
memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada
tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian
juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.
2.3 Otonomi Daerah Sebelum Reformasi.
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah telah
mengambil langkah-langkah penting dalam rangka perujudan cita desentralisasi.
Langkah-langkah penting yang diambil pemerintah itu terlihat dari lahirnya
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang masing masing dengan
sistemnya sendiri.
Undang-Undang No. 1/1945 merupakan undang-undang pertama yang mengatur
mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :
(a) Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan
Yogyakarta, di Kresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lainlain Daerah
yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri ( Pasal 1).
(b) Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan
pekerjaan mengatur rumah tangga Daerahnya, asal tidak bertentangan dengan
peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya
(Pasal 2)
(c) Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang,
sebanyakbanyaknya 5 orang sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan
pimpinan oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan seharihari dalam Daerah
itu (Pasal 3).
Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah berubah atau
menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala
Daerah, serta mempunyai tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya
dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan
peraturan Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan
Perwakilan Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah
merupakan anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai
hak suara.
Dalam prakteknya pelaksanaan UU No. 1/1945 menimbulkan berbagai persoalan,
karena UU ini tidak diberi Penjelasan. Sehingga terjadi kesimpang siuran dalam
menafsirkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU tersebut. Akhirnya
kementerian dalam negeri memberikan penjelasan tertulis terhadap UU No.
1/1945.Penjelasan tertulis Kementerian Dalam Negeri itu memuat
keterangan-keterangan mengenai tujuan diadakannya UU No. 1/1945. Tujuan yang
pertama bagi diadakannya UU ini adalah untuk menarik kekuasaan pemerintahan
dari tangan Komite Nasional Daerah (KND) dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
(a) Semua KND dibentuk sebagai
pembantu pemerintah daerah dimasa kekuasaan sipil, pangrehpraja dan polisi dan
alat-alat pemerintahan lainnya masih ditangan Jepang.
(b) Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan
Jepang, KND dalam prakteknya mengganti Pangrehpraja dan polisi di samping
Pangrehpraja dan polisi sebenarnya yang menjadi pegawai Republik Indonesia.
(c) Dualisme yang demikian itu sangat
melemahkan kedudukan dan kekuasaan Pangrehpraja dan polisi sebagai alat-alat
pemerintahan yang resmi. (The Liang Gie)
Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai badan legislatif Badan
Perwakilan Rakyat Daerah, wewenangnya adalah :
(a) Kemerdekaan untuk mengadakan peraturanperaturan untuk
kepentingan daerahnya (otonomi);
(b) Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan
peraturanperaturan yang ditetapkan oleh Pemerintah itu (medebewind dan
selfgovernment = sertantra dan pemerintahan sendiri);
(c) Membuat peraturan mengenai suatu hal yang
diperintahkan oleh undangundang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu
harus disyahkan lebih dahulu oleh pemerintah atasan (wewenang antara otonomi
dan selfgovernment).
Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi yang diberikan kepada Daerah
adalah otonomi Indonesia yang lebih luas dibandingkan pada masa Hindia Belanda.
Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah agar tidak bertentangan dengan
peraturan Pusat dan Daerah yang lebih tinggi.(CST Kansil;1979;37}
Sedangkan alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah ada tiga (meskipun
tidak dinyatakan secara tegas), yakni :
(1) KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan dipimpin
Kepala Daerah menjalankan fungsi legislatif.
(2) Badan (terdiri dari sebanyakbanyaknya 5 orang) yang
dipilih dari dan oleh anggota KNID sebagai "Badan Eksekutif"
bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan
seharihari (dibidang otonomi dan tugas pembantuan).
(3) Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat
menjalankan urusan pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang
dijalankan oleh kantorkantor Departemen di daerah.
Berdasarkan hubungan kelembagaan dari alat perlengkapan Pemerintahan Daerah
dalam UU No. 1/1945 itu, maka nyatalah adanya dualisme kekuasaan eksekutif yang
menimbulkan persoalan-persoalan dalam lapangan pemerintahan di daerah. Keadaan
ini pula yang menjadi salah satu dasar untuk memperbaharui UU No. 1/1945, yakni
dengan diundangkannya UU No. 22/1948. Penjelasan Umum UU. No. 22/1948
menyebutkan:
"Pemerintahan daerah pada sekarang ini masih merupakan dualistis, yang
kuat, oleh karena di samping Pemerintahan Daerah yang berdasarkan perwakilan
rakyat (Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Eksekutifnya, yang termasuk juga
Kepala Daerahnya), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh Kepalakepala
Daerah sendiri, dan pemerintahan ini mengambil bagian yang terbesar di daerah.
Maka Pemerintahan daerah yang serupa itulah yang merupakan pemerintahan
dualistis, dan kuat, sehingga tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang
berdasarkan demokrasi, sebagai tujuan revolusi kita. Dengan undangundang baru
inilah pemerintahan dualistis akan dihindarkan."
Memperhatikan UU No. 22/1948 secara keseluruhan, maka UU ini bermaksud
hendak memberi isi pada Pasal 18 UUD 1945 dan meletakkan dasar:
a) Untuk menyusun pemerintahan
Daerah dengan hak otonomi yang rasional sebagai jalan untuk mempercepat
kemajuan rakyat di daerah;
b) Untuk mengadakan tiga tingkatan Daerah dengan tugas
dan kewenangan yang pada pokoknya diatur dalam suatu undangundang;
c) Untuk memodernisir dan
mendinamisir pemerintahan desa dengan menetapkan desa sebagai Daerah Tingkat
III;
d) Untuk menghilangkan pemerintahan
di daerah yang dualistis, dengan menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Dewan Pemerintah Daerah sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi,
sedangkan Kepala Daerah diberi kedudukan sebagai Ketua dan anggota Dewan
Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD);
e) Untuk memungkinkan Daerah-daerah
yang mempunyai hakhak asalusul di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai
pemerintahan sendiri, dibentuk sebagai Daerah Istimewa. (Wajong;1975;37)
Selanjutnya UU No. 22/1948 bermaksud
menghapus Pamong Praja dan memberikan otonomi sebanyak-banyaknya (UU ini belum
mempergunakan istilah otonomi "seluas-luasnya") kepada Daerah (lihat
Penjelasan angka III, UU No. 22/1948). Istilah sebanyak-banyaknya mengandung
arti beraneka ragam urusan pemerintahan sedapat mungkin akan diserahkan kepada
daerah. Otonomi Daerah akan mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas.
Sehingga, pengertian otonomi "sebanyak-banyaknya" pada dasarnya sama
dengan "otonomi seluas-luasnya". Dalam hubungan ini UU No. 22/1948
meletakkan titik berat otonomi pada Desa dan daerah lain setingkat Desa, dengan
dasar pemikiran Pasal 33 UUD 1945.
Segi lain yang membedakan pengaturan pemerintahan daerah antara UU No. 1/
1945 dengan UU No. 22/1948 adalah dalam hal bentuk Pemerintahan di Daerah. UU
No. 1/1945 membedakan dua macam bentuk pemerintahan tingkat daerah, yakni
satuan Pemerintahan Daerah Otonom dan satuan Pemerintahan Administratif.
Sedangkan UU No. 22/ 1948 hanya mengenal satu macam bentuk satuan pemerintahan
tingkat daerah, yakni satuan Pemerintahan Daerah Otonom. Dengan kata lain
sistem pemerintahan yang diatur UU No. 22/1948 hanya sistem pemerintahan
berdasarkan asas desentralisasi dan medebewind. Penjelasan Umum UU No. 22/1948
menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri :
a. Pemerintahan Deerah yang disandarkan pada
hak otonom, dan;
b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada
hak medebewind.
Akan tetapi ide yang terkandung dalam UU No. 22/1948 tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan atau tidak terwujud sepenuhnya dalam prakteknya
karena pada saat berlakunya UU ini, tentara Belanda kembali melanjutkan aksi
militernya ke-II.
Pada akhirnya dengan tercapainya persetujuan Konperensi Meja Bundar 27
Desember 1948, Republik Indonesia hanya berstatus Negara Bagian yang wilayahnya
hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan,
yang karena itu pula UU No. 22/1948 tidak dapat diberlakukan sepenuhnya di
seluruh nusantara. Meskipun demikian, dalam UU No. 22/1948 setidaknya terdapat
beberapa hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Cita "ketunggalan" yaitu untuk semua jenis
dan tingkatan daerah diperlakukan satu UU pemerintahan daerah yang sama. Ini
akan memupuk rasa kesatuan antara daerah-daerah otonom di seluruh Indonesia.
Bagi Pemerintah Pusat sendiri juga memudahkan dalam menjalankan
tindakan-tindakan yang seragam Pada masa Hindia Belanda dan pendudukkan Jepang
terdapat pluralisme dalam perundang-undangan desentralisasi.
b. Cita "persamaan"
antara cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan luar pulau tersebut. Ini akan
menghilangkan rasa iri hati karena seolah-olah dianak tirikan yang terdapat
pada wilayah di luar Jawa/Madura.
c. Penghapusan dualisme dalam
Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22/1948 dicita-citakan agar Daerah tidak akan
berlangsung terus pemerintahan yang dijalankan oleh pamong praja.
d. Cita desentralisasi yang
merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia akan terdiri atas
Daerah-daerah otonom diluar itu tidak ada wilayah yang mempunyai kedudukkan
lain.
e. Pemberian otonomi dan
medebewind yang luas, sehingga rakyat akan dibangunkan inisiatifnya untuk
memajukan Daerahnya.
f. Pemerintahan Daerah yang demokratis, yaitu susunan
aparatur Daerah yang dipilih oleh dan dari rakyat. Ini akan mendidik rakyat
kearah kemampuan memerintah diri sendiri serta penghargaan terhadap kebebasan
dan tanggung jawab.
g. Pemerintahan kolegial.
Soalsoal pemerintahan tidak akan lagi diputuskan oleh seorang tunggal,
melainkan oleh sekelompok orang atas dasar permusyawaratan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan.
h. Cita mendekatkan rakyat dan Daerah tingkat terbawah
dengan pemerintah Pusat. Kalau pada masa lampau tata jenjang kepamongprajaan
dari lapisan terbawah sampai teratas melalaui tidak kurang dari lima tingkat
(desa, kecamatan, kewedanaan, dan seterusnya), maka susunan Pemerintahan Daerah
yang baru hanya mengenal 3 tingkatan Daerah. Ini memudahkan pembinaan dan
pembimbingan Daerah tingkat terbawah oleh Pemerintah Pusat.
i. Cita pendinamisan kehidupan desa
dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis dengan ini. Untuk memajukan negara dan
memakmurkan rakyat Indonesia, desa harus dijadikan sendi yang kokoh dan
senantiasa bergerak maju. Pada masa lampau desa dan wilayahwilayah lainnya yang
sejenis ditaruh di luar lingkungan pemerintahan modern dan dibiarkan hidup
dalam alamnya sendiri yang statis.
j. Cita pendemokrasian pemerintahan
zelfbesturende landschappen. Kerajaan-kerajaan warisan masa lampau dengan sifatnya
yang otokratis dan feodal dijadikan bagian dari wilayah RI yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya sesuai dengan asasasas yang dianut oleh
negara.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana
Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan
Pasal 131 UUDS 1950, maka bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang didesentralisasikan. Dengan adanya perubahan
ketatanegaraan itu, maka UU No. 22/1948 tidak berlaku lagi, dan digantikan UU
No. 1/1957.UU No. 1/1957 hanya mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan
tingkat daerah yang didasarkan pada asas desentralsiasi. Pengaturan demikian
sesuai dengan Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS 1950 yang hanya mengenal satu jenis
pemerintahan di daerah, yakni Daerah Otonom. Di samping itu sistem otonomi
yang dianut adalah otonomi riil. Sistem otonomi yang didasarkan pada
faktor-faktor, bakat, kesanggupan dan kemampuan yang riil dari Daerah-daerah
maupun Pusat, serta bertalian dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
terjadi (Pasal 131 ayat (3) UUDS 1950). Untuk melaksanakan sistem ini, dalam
undang-undang pembentukan Daerah ditetapkan urusan tertentu yang segera dapat
diatur dan diurus oleh Daerah sejak pembentukan Daerah tersebut. Di samping itu
masih terdapat pengertian ajaran rumah tangga yang formal dengan metode
pekerjaan Daerah yang hirarkhis.
Dalam Pasal 5 UU No. 1/1957 dengan tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah.
Susunan ini serupa dengan UU No. 22/1948, karena bertujuan sama yaitu
mewujudkan Pemerintahan Daerah yang kolegial dan demokratis. Berbeda dengan
keadaan sebelumnya (UU No. 1/1945) bahwa Pemerintah Daerah itu terdiri dari
DPRD (dalam hal ini Komite Nasional Daerah), Dewan Pemerintahan Daerah dan
Kepala Daerah. Susunan Pemerintahan Daerah model UU No. 1/1945 menimbulkan
Pemerintahan Daerah yang dualistik.(Laporan penelitian; FH Unpad;51) Hal ini
yang ingin dihilangkan UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957.Meskipun Kepala Daerah
berdasarkan UU No. 1/1957 hanya semata-mata sebagai Kepala Daerah, tetapi tidak
berarti dualisme pemerintahan tidak ada. Jika dalam UU No. 1/1945 dan UU No.
22/1948 dualisme itu ada pada satu jabatan (dalam diri satu orang) yaitu Kepala
Daerah, maka dalam UU No. 1/1957 dualisme pemerintahan itu ada pada dua orang
yang berbeda. Bidang pemerintahan umum ada ditangan Pamong Praja, sedangkan bidang
otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) ditangan Pemerintah Daerah (lihat
Penjelasan Umum Penpres No. 6/1959).
Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945,
termasuk ke dalamnya penyesuaian peraturan perundang-undangan mengenai
Pemerintahan Daerah. Dalam hubungan inilah ditetapkan Penpres No. 6/1959
sebagai penyempurnaan atas UU No. 1/1957. Berbagai gagasan dasar dalam UU No.
1/1957 tetap dipertahankan seperti prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya
kepada Daerah, termasuk mengenai susunan Daerah Otonom. Perubahan yang mendasar
adalah:
1) Trend memperkokoh unsur desentralisasi yang digariskan
sejak tahun 1948 berganti kearah yang lebih menekankan pada unsur sentralisasi.
Misalnya, pengangkatan Kepala Daerah lebih ditentukan oleh kehendak pusat dari
pada Daerah. Presiden diberi wewenang mengangkat Kepala Daerah diluar calon
yang diajukan oleh Daerah.
2) Kepala Daerah tidak lagi
semata-mata sebagai alat Pusat yang mengawasi Pemerintahan Daerah. Bahkan
secara beransur-ansur Kepala Daerah lebih tampak sebagai Wakil Daerah dari pada
sebagai pimpinan Daerah.
3) Dihapuskannya dualisme
Pememerintahan di Daerah yang memang terasa mengganggu kelancaran penyelenggaraan
Pemerintahan di Daerah.(Bagir Manan; perjalanan historis;32)
Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan penyelenggaraan
pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945, tetapi
penggerogokan terhadap prinsip-prinsip otonomi, yakni dengan dikeluarkannya
Penpres No. 5/1960. Dimana DPRD hasil pemilihan umum dibubarkan, dan dibentuk
DPRD-GR yang seluruh anggotanya diangkat. Kepala Daerah menurut Penpres ini
adalah Ketua DPRD.Walaupun Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan
UU No. 1/ 1957, namun pengaturan Pemerintahan Daerah dengan Penpres itu sendiri
sesungguhnya juga tidak sejalan dengan UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 menghendaki
pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah ditetapkan dengan UndangUndang, dan
bukan dengan Penpres. Dalam hubungan inilah kemudian ditetapkan UU No. 18/1965
tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.Satu hal penting dari kelahiran UU No. 18/1965 ialah bahwa secara
keseluruhan UU ini meneruskan "politik otonomi" yang telah diatur
dalam Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5/1960, kecuali mengenai hubungan
Kepala Daerah dengan DPRD.
Perubahan yang fundamental dari UU No. 18/1965, jika dibandingkan dengan UU
terdahulu mengenai organ Pemerintah Daerah, yaitu :
a) tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRGR
Daerah oleh Kepala Daerah.
b) dilepaskannya larangan keanggotaan pada sesuatu partai
potik bagi Kepala Daerah dan anggota BPH.
c) tidak lagi Kepala Daerah didudukan secara
konstitutif sebagai sesepuh daerah.
Selanjutnya UU No. 18/1965 hanya mengatur mengenai pemerintahan daerah
berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan dan
sebagaimana halnya dengan istilah Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja merupakan
istilah teknis, yang dipergunakan untuk menyebut jenis daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi
dan sebagainya itu bukan nama Daerah Administratif.
Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan dapat membawa perubahan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan Daerah
di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya juga tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana
dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS No.XXI/ MPRS/1966 yang
antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965. Prinsip pemberian
otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan, tetapi dipandang
dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara
kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan GBHN.
Dengan demikian, kelahiran UU No. 5/1974 setidak-tidaknya dilatar belakangi
oleh hal yang diutarakan di atas, terutama berkaitan dengan prinsip pemberian
otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah. Sehingga UU No. 5/1974 menganut
prinsip pemberian otonomi kepada Daerah bukan lagi berupa "otonomi yang
seluas-luasnya", melain "otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab".Satu sisi yang amat penting dari UU No. 5/1974 adalah bawah UU ini
tidak semata-mata mengatur pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi
(otonomi dan tugas pembantuan), tetapi juga dekonsentrasi.Ditinjau dari sudut
pola hubungan antara Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974 berada dalam garis yang
sama dengan pola yang dirintis dan dilaksanakan sejak tahun 1969. Unsur-unsur
sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi. Di samping itu dalam
rangka pemberian otonomi kepada Daerah, UU No. 5/1974 meletakkan titik berat
Otonomi Daerah pada Daerah Kabupaten/Kotamadya.Dari pengaturan mengenai
Pemerintahan Daerah dalam berbagai undang-undang sebagaimana telah diutarakan
maka dapat dikemukakan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memperlihatkan
perbedaan-perbedaan baik sistem otonominya maupun corak pemerintahannya.
Meskipun undang-undang tersebut bersumber pada satu dasar penyusunanan yang
sama yakni Pasal 18 UUD 1945 (kecuali UU No. 1/1957).
UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama puluhan tahun (1974-1999) boleh
disebut sebagai undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama berlakunya
dibanding undang-undang yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan UU No 5 Tahun
1974 itu yang begitu lama berlaku tentu saja sangat berpengaruh bagi keberadaan
daerah otonom di Indonesia, meskipun dalam perjalanannya kemudian digugat
sebagai pengaturan bagi daerah otonom, namun nuansa sentralisasi lebih kuat
atau sangat dominan dibanding nuasa desentralisasinya. Keberadaan undang-undang
No 5 Tahun 1974 belakangan dipahami oleh banyak kalangan sebagai undang-undang
yang erat kaitannya dengan pemerintahan Orde baru yang sentralistik dan
otoriter. Tetapi apa pun itu, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa UU No
5 Tahun 1974 telah memberikan warna dan pengaruh yang kuat terhadap
karakteristik pemerintahan daerah dan penyelengaraannya, termasuk terhadap para
penyelenggaranya. Salah satu dampak yang sampai saat ini masih bisa dilihat
adalah lemahnya inisiatif daerah (pemerintah daerah) dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sebagai inti dari otonomi daerah.
2.4 Otonomi Daerah Pasca Reformasi.
Bergulirnya era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi
salah satu tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi itu
lahirlah UU No.22 Tahun 1999 dan sekaligus mengakhiri orde otonomi daerah model UU No.5 Tahun 1974 yang
sangat sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas dari
petimbangan UU No.22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Mengenai ketidak
sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara panjang lebar dalam penjelasan
UU No.22/1999.Apabila dicermati UU No.22/1999 terdapat banyak perbedaan yang
sangat prinsip serta sekaligus sebagai perbedaan yang fundamental dibanding
dengan UU No.5/1975. Hal ini antara lain;
Pertama, dipisahkannya dengan tegas antara Kepala Daerah
dengan DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup dalam
lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999 ditegaskan bahwa
Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan perangkar daerah lainnya dan
disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks “Pemerintah Daerah”, dirumuskan
terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan sebelumnya antara Kepala Daerah
dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada kerancuan DPRD
ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.
Kedua, ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh pada
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak ada lagi daerah administrative
atau yang sebelumnnya disebut dengan pemerintahan wilayah pada tingkat
Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/174.
Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai
Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan
Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan
merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Kelima, berdasarkan UU No.22/1999 pemberian kewenangan
otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas
desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas
dekonsentrasi hanya padatingkat Propinsi.
Keenam, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD
dapat memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak pertantanggungjawaban
Kepala Daerah.
Ketujuh, adanya pembagian kewenangan yang tegas antara
Propinsi dengan Kabupaten Kota.
Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota
dipilih oleh DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh Presiden
atas usul DPRD.
Beberapa hal yang
dikemukakan di atas hanya sebagian saja dari perbedaan yang fundamental
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai implementasi dari dianutnya asas
desentralisasi di Indonesia dibanding era sebelum reformasi. Ada banyak
hal perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi daerah dari
UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini diperkenalkannya
otonomi khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU No.5/1974 hanya dikenal
Daerah khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan mendasar dengan otonomi
khusus.Singkat kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai pengganti UU
No.5 Tahun 1974 harus diakui telah memberikan “gairah” dan darah baru bagi
penyelenggaraan otonomi daerah.eforia otonomi daerah dengan segala dinamikanya
terlihat jelas di daerah-daerah. Meskipun kemudian, gairah otonomi daerah yang
meningkat luar biasa itu melahirkan berbagai masalah yang tidak diduga
sebelumnnya dan kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta gagasan untuk
merevisi UU No.22/1999.
Gagasan untuk
merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni dengan
diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999 yang hanya baru
beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada
“selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004
diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR
dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih
cenderung dilatar belakang politis melihat apa yang berkembang pada
penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah bisa
ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari kedua
UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan sebagai;
“Otonomi
Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Rumusan terhadap
otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan frase “otonomi
daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak demikian halnya dengan
otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;
“Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari perbedaan
rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU No.32/2004 itu
mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang mengatur tentang
pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa memberikan rumusan
terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu undang-undang dengan
undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU No 32 Tahun 2004
sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun
1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan; “Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dengan adanya
perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun 2004 tersebut dan
sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun
1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi daerah selalu terseret arus
politik dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan adanya gerakkan menjauh
dari makna pemberian otonomi kepada daerah yang utamanya untuk memajukan
kesejahteraan masyarakat daerah, tetapi otonomi daerh lebih cenderung dibangun
dibawah kepentingan politik dan kekuasaan.
Pada tahun-tahun
mendatang, soal otonomi daerah belum akan berakhir dan masih akan dihadapkan
pada situasi seperti yang terjadi selama ini. Bahkan beberapa waktu belakangan
kembali bergulir ide dan gagasan untuk mengganti atau merevisi (merubah)
UU No 32 Tahun 2004. Dampaknya jelas, pemerinatahan yang kuat dan stabil
seperti masih merupakan sesuatu yang jauh dari harapan. Dalam konteks ini,
adalah suatu yang mustahil mengharapakan adanya pemerintahan daerah yang kuat
dan mempu dengan optimal mewujudkan masyarakat daerah yang sejahtera bila sistem dan model pemerintahan selalu berganti-ganti tiap sebentar.
2.5
Otonomi Daerah diIndonesia Saat Ini
Sejak reformasi di gulirkan
dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk kritikan terhadap pengelolaan pemerintahan pada zaman
ordebaru yang dinilai pemerintahan yang sangat sentralistik yang kesemuanya
dikomandoi atau segalah urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat
sehingga daerah atau sub nasional tidak memiliki peranan yang berarti dalam
pengolaha pemerintahan. Tak terkecuali urusan pemerintahan yang bersifat
tekhnis dimana jakarta menjadi aktor penentu, meskipun jauh sebelum adanya
otonomi daerah telah ada kritikan tentang pengelolaan pemeritahan yang seperti
itu dengan anggapan bahwa keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dengan apa
yang diharapkan di daerah , Setidaknya dalam hal pengelolaan negara tersebut,
substansinya berada pad rana Horisontal atau yang mana terkait dengan fungsi
serta vertikal yaitu struktur penyelanggara pemerintahan seperti pemerintahan
nasional atau pusat, daerah atau sub nasional. Dimana batasan batasan
fungsi atau wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
hubungan diantaranya dalam mengelolah pemerintahan.
Setidaknya kalau kita melihat kondisi yang terjadi saat ini
yang menarik untuk kita simak, fenomena yang terjadi dalam masyarakat itu
sendiri, kita melihat Masyarakat terklasterisasi suku, wilayah yang dicontohkan
oleh wawan mas’udi adanya sub teritorial contoh dapat dilihat pada struktur
Tentara Nasional Indonesia TNI yang kesemuanya tersusun sampai pada tingkatan
desa, tingkatan yang ada di bawah. adanya pemerintah pusat dan daerah provinsi
dan kabupaten kota dan bahkan sampai pada tingkatan yang paling bawah yaitu
tingkatan desa. Penyelenggaraan diharapkan berjalan dengan baik sehingga sangat
dimungkinkan terjadinya pembagian kekuasaan atau kewenangan mengelolah
pemerintahan, hal tersebut di setiap negara di dunia tidak semua memiliki cara
yang sama dalam mengelolah pmerintahanya, pembagian kekuasaan setidaknya yang
sering kita dengarkan bahwa ada dua sumber otoritas, yaitu ada pada pemerintah
nasional dan otoritas ada pada pemerintah sub nasional atau masyarakat. Dalam
mempersatukan antara pemerintah pusat dan pemerintah yang ada di daerah
memiliki cara yang berbeda meskipun dengan tujuan yang sama, dalam hal ini
setidaknya ada dua bentuk negara yang dihasilkan, yaitu negara kesatuan dan
negara liberal. Yang mana negara kesatuan danlam mempersatukan dengan cara
sepenuhnya otoritas berada pada pemerintah pusat. Sehingga menganggap bahwa negara
ini dapat disatukan dengan cara semua urusan pemerintahan yang ada semua di
komandoi oleh pemerintah pusat, dan hal ini pula yang terjadi di indonesia pada
pemerintahan orde lama dibawak kepemimpinan presiden soeharto, yang sangat
terkenal dengan bentuk pemerintahan yang sangat sentralistik atau terpusat,
segala urusan pemerintahan jakarta menjadi tumpuan., sedangkan negara federal
kekuatan atau otoritas hanya berada pada pemerintah negara bagian. Wawan
mas’udi mencontohkan hal tersebut pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di
America. Dengan negara liberal dianggap sebagai cara yang sangat tepat dalam
mempersatukan dengan cara pemberian kewenangan penuh terhadap pemerintahan
negara bagian yang ada, dan beranggapan bahwa penyelanggaraan pemerintahan
dengn cara sentralistik yang terpusat justru tidak melahirkan persatuan akan
tetapi peluang melahirkan perpecahan dan konflik yang terjadi antara pemerintah
pusat dan daerah, dan dianggap ancaman terhadap sebuah persatuan.
Hubungan pemerinta pusat dan daerah bukanlah permasalahan yang baru di
indonesia akan tetapi problem masalalu yang hingga saat ini belum
terselesaikan, meskipun waktu yang lebih dari cukup telah terlewati akan tetapi
bukan berarti tidak ada usaha sama sekali dalam menangani masalah tersebut.
Telah banyak usaha yang dilakukan pemerinta walhasil sampai saat ini belum
kunjung terselasaikan, permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
telah banyak undang-undang yang mengatur sampai saat ini ternyata tidak kunjung
terselesaikan juga, pemerintahan yang sentralistik maupun pemerintahan yang
demokratis telah di praktekkan di negri ini yang tentunya melahirkan berbagai
pandangan dan penilaian masing-masing. Seperti adanya anggapan bahwa
Pemerintaha yang sentralistik dinilai mambuat masyarakat menjadi apolitis.
Pada beberapa titik wilayah
yang ada di indonesia begitu banyak yang menyuarakan aspirasi daerahnya,
sehingga tuntutan masyarakat tentang pemekaran wilaya yang sangat luar biasa terjadi di beberapa daerah,
atasnama memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudahan administrasi yang
hendak di perjuangkan hingga saat ini adanya upaya pemerintah mengevaluasi
beberapa daerah hasi lepemekaran. Dalam fenomena tersebut bahwa ternyata Hal
menarik lainya yang dapat kita saksikan, sebagai dampak dari otonomi daerah dan
terjadinya pemekaran wilayah di berbagai daerah yaitu pada pembagian wilayah
yang ada di indonesia bukanlah pembagian administratif tapi pembagian klaster
poliitik, pada dasarya pemekaran wilayah yang terjadi di berbagai daerah yang
ada di indonesia semangatnya telah berubah denga derajat yang sangat tinggi,
diman pada setiap pemekaran yang ada bukan lagi terletak pada aspek
administrasi, tapi pada semangat suku. Dapat diliha pada penyelenggaraan
pemerintahan yang ada di berbagai wilaya di indonesia. Wawan mas’udi dalam hal
ini mencontohkan pemerintahan antara yogyakarta dan Jawatengah. Kalau di
sulawesi tengah dapat diliha pada kasus yang terjadi di kabupaten bungku
dan kolonedale kabupaten morowali.
Jikalau pembagian dengan di
dasarkan pada admionistratif, maka dapat dipastikan sangat banyak daerah yang
tidak layak atau tidak memenuhi untuk menjadi suatu daerah yang otonom, kondisi
demikianlah yang terjadi di indonesia saat ini, Dalam pemerkaran wilayah yang
ada di indonesia ada sebenarnya ada unsur politk didalamnya, pemekaran daerah
yang ada tidak lagi terletak pada substansinya, banyaknya tantangan yang di
hadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentunya membutuhkan perhatian
pemerintah dalam hal
tersebut, bebrapa kabar terdengar pada akhir-akhir ini bahwa otonomi daerah
akan di evaluasi, respon pemerintah tersebut dengan melakukan pembentukan
evaluasi terhadap pelaksanaanya, dan kabar terakhir yang kita dengarkan bahwa
tim tersebut telah terbentuk seperti yang diberitakan pada, (kompas) sabtu 09 januari 2010.
Pemerintahan
yang sentralistik dinilai berbenturan dengan karakteristik yang ada di daerah,
di setiap daerah yang ada di indonesi memiliki karakter yang berbeda, baik
daris segi potensi wilyah yang ada di indonesia maupun dari segi kultur yang
ada di masyarakat sehingga sangat dimungkingkan terjadinya perbedaan kebutuhan
yang ada di daerah sehingga ada yang beranggapan bahwa pemerintahan yang ada di
daerah seharusnya memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah, sehinggga
dalam pembangunan yang ada karakter daerah tetap dipertahankan, disamping itu
kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang ada di
daerah, terlebih dengan kondisi indonesia yang plural. Disamping itu ada
anggapan bahwa bahwa untuk membangun negara menjadi maju pemerintahan yang
sentralistik juga bisa mewujudkanya, wawan mas’udi memberikan gambaran Di eropa
dengan pemerintahan sentralistik juga manjadi negara maju akan tetapi sangat
berbeda dengan kondisi yang ada di indonesia di eropa masyarakatnya homogen, di
indonesia masyarakatnya yang plural sehingga sangat rentang terhadap konflik
dan perbedaan, isu yang mungkin sering kita dengar pada dekade tarakhir ini
yaitu isu daerah.
Pemekaran
daerah yang marak pada dekade terakhir ini hingga pemekaran di pertanyakan
mengedepankan pelayanan bukankan pemekaran adalah sebuah bentuk pembagian
kekuasaan para elit politik, yang mana pemekaran dapat digambarkan sebagai
pembagian kekuasaan dari elit pusat yang ada di jakarta, kepada elit lokal yang
ada di daerah yang mana otonomi daerah tidak lagi pada substansinya, sehingga
desentralisasi yang menjadi pilihan saat ini tidaklah bersifa final bisa saja
akan mengalami perubahan, terlebih dengan yang ada di indonesia setiap rezim
memperlakukan pola yang berbeda beda dalam menjalangkan pemerintahan,
Desenralisasi hanyalah sebagai bentuk atau pola transfer otority kepemerintah
sub nasional yang ada di daerah. Disamping itu dalam implementasi otoritas atau
penyelenggaraan pemerintahan perlu ada kontrol yang baik terhadap proses
pelaksanaan pemerintahan.
Terkait
dengan otoritas antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi ada
fenomena menarik yang kita liat dimana dengan otonomi daerah yang ada,
memberikan otoritas yang besar berada pada pemerintahan yang ada di kabupaten,
sehingga koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah yang ada di
kabupaten sering terkandala, dimana pemerintah kabupaten menganggap bahwa
otoritas melekat pada dirinya sangat besar, sehingga enggan tunduk pada pemerintah
provinsi dan bahkan pemerintah yang ada di kabupaten membetuk kekuatan sendiri
wawan pada perkuliahan yang lalu mencontohkan pada kasus pemerintah di merauke.
Kondisi
yang terjadi di iondonesia saat ini yang terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah adalah sebuah permasalahan yang cukup serius, setidaknya ada beberapa
motif yang melatarbelakangi seperti, keterjangkauan, efisiensi (hal yang
strategis) keamanan dan ekonomi. Dalam implementasi otonomi daerah setidaknya
harus memperhatikan persoalan keterjangkauan, terutama dari segi pelayanan
terhadap masyarakat, yang terkait pada persoalan wilayah dan tata letak,
persoalan efisiensi yang terkait dengan persoalan biaya, jarak. Hal tersebut
yang harus mendapat perhatian besar dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping
dua hal yang strategis keamanan dan ekonomi yang juga harus mendapat perhatian.
Disamping hal tersebut diatas indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis,
terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah
pusat yang memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang
terselesaikan dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat
tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan
terfokus. Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai.
Hal yang
sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan
pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun
dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini
berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa
watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya
pengelolaan pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada
konsep otonomi daerah.
Demokrasi
yang ada di indonesia adalah demokrasi liberal, seperti yang ada di america
bukan lagi demokrasi pancasila sebagai contoh pada pemilihan presiden dan wakil
presiden dengan cara one man
one vote masyarakat bisa
menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka. Hal ersebut kritikan terhadap
Pemilihan bupati melalui DPR yang di anggap terjadi kolusi dan semuah
yang dipilih DPR sangat mudah dijatuhkan.Kepercayan masyarakat semakin menurun,
Kebaradaan partai politik yang selalu saja terjadi konflik internal, yang
permasalahanya adalah persoalan kekuasaan , contoh yang terjadi pada dua orang
anggota DPR dari partai bulan bintang (PBB) yang menentang kepemimpinan
partainya karena yusril ihza mahendra memanipulasi jalanya muhtamar sehingga
mampu menguasai kembali kepemimpinan partai tersebut. Akibatnya hartono marjono
dan abdul kadir jaelani dikeluarkan dari fraksi PBB tetapi tidak dapat di
recall karna UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan kedudukan DPR/MPR tidak
mengenal lembaga recall sebagaiman yang dikenal sebelumnya. Sehingga demikian
tidak bisa lagi diberi kepercayaan dan amanah
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Otonomi daerah dapat
diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai perjalanan dan perkembangan otonomi (pemerintahan)
daerah di Indonesia dengan segala aspeknya seperti mengurai suatu ”kisah” yang
sangat panjang. Bahkan mungkin tidak banyak lagi publik yang mencoba
mereviewnya, kecuali bagi kalangan peneliti atau untuk keperluan studi. Secara
praktis tentu hal itu tidak jadi masalah, karena kebijakan mengenai otonomi daerah dari suatu regulasi yang sudah
tidak berlaku lagi mungkin sudah kehilangan manfaat. Namun bagi keperluan mendapatkan suatu
subtansi dan menemukan masalah-masalah disekitar implementasi otonomi daerah di
Indonesia, maka menelusuri perjalanan otonomi daerah dari waktu ke waktu sepertinya sangat
penting. Apalagi sampai saat ini soal otonomi daerah di Indonesia masih mencari
bentuknya yang ideal. Dalam perspektif ini, dengan menelusuri regulasi
berkaitan dengan otonomi daerah setidaknya akan ditemukan mengapa kebijakan
otonomi daerah di Indonesia selalu berubah-ubah.
DAFTAR
PUSTAKA
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langganan:
Postingan (Atom)