Selasa, 04 Desember 2012

makalah kebijakan publik








disusun oleh:
I Ketut Yuda Suartana
21. 0880
A - 3




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Kebijakan Impor Beras”.
Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Mataram, Oktober  2011

       Penulis









DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................   i
DAFTAR ISI .................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................   1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................   1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................   1
1.3 Tujuan ......................................................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................   3
2.1 Impor beras   ............................................................................................   3
2.2 Dampak Impor beras ..............................................................................   4
2.3 Solusi  (Mengganti Impor dengan Subsidi) .............................................  11
BAB III PENUTUP ......................................................................................  14
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................  15





 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karena keberadaaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia, beras memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Pada masa sebelum kemerdekaan, campur tangan pemerintah kolonial Belanda untuk menjamin keberadaan beras dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan. Pemerintah kolonial Belanda mengintervesi kecukupan pasokan beras dengan harga terjangkau bagi komoditi ini melalui berbagai cara. Pada sisi stabilitas harga, pemerintah kolonial dari waktu ke waktu membuka keran impor bila dibutuhkan dan mentransportasikannya lebih lanjut pada daerah kepulauan yang membutuhkan, serta mendirikan satu lembaga yang berperan menstabilisasi harga beras pada tahun 1939, yang sesungguhnya cikal bakal dari BULOG saat ini. Setelah kemerdekaan dan sampai saat ini pun beras terus menjadi komoditi sosial politik strategis bangsa Indonesia.
Jadi untuk memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri maka pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras,namun impor beras tidak selalu berdampak baik ada juga pihak yang merasa dirugikan seperti petani. Kenapa bisa petani yg mengalami kerugian? Jawaban atas pertanyaan itu akan diulas pada bab II.
1.2 Rumusan Masalah
            Makalah ini membahas mengenai kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah indonesia dan untuk lebih mengetahui dampak langsung yang dirasakan dengan adanya kebijakan ini.


1.3 Tujuan
1. Mengetahui kebijakan impor beras di Indonesia.
2. Mengetahui dampak dari kebijakan tersebut.
3. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Kebijakan Publik.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Impor beras
Pemerintah (sebagai representasi negara) memiliki kewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, baik dari segi jumlah beras maupun keterjangkauan harga beras. Dengan kata lain pemerintah harus menjamin bahwa jumlah beras di pasar cukup memenuhi kebutuhan semua masyarakat dengan harga terjangkau.
Pemenuhan kebutuhan beras, dari segi jumlah, bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu menaikkan produksi pertanian dalam negeri, atau cara kedua dengan melakukan impor beras. Dalam hal ini pemerintah cenderung memilih melakukan impor daripada harus meningkatkan produksi dalam negeri. Menaikkan produksi pertanian merupakan kegiatan yang relatif sulit serta membutuhkan waktu lama. Sulit karena meliputi berbagai kegiatan seperti penyediaan pupuk murah, peningkatan teknologi pertanian, sarana penyimpanan yang memadai, saluran distribusi, dan banyak hal lain.
Kompleksitas masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi pertanian menjadikan peningkatan produksi sebagai proyek jangka panjang serta berbiaya tinggi. Peningkatan produksi pangan tidak bisa dicapai dengan cepat, melainkan secara bertahap. Apalagi sebagai sebuah proyek jangka panjang, peningkatan produksi pertanian memerlukan ketersambungan (kontinuitas) kebijakan pemerintahan.
Artinya, pemerintah yang akan datang harus rela dan memiliki komitmen untuk meneruskan kebijakan pemerintah sebelumnya (yang mencanangkan proyek peningkatan produksi pertanian).

Sedangkan jika memilih jalan impor, permasalahan yang dihadapi pemerintah lebih sederhana. Impor adalah cara instan karena begitu pemerintah mengeluarkan uang, sejumlah beras akan diterima pemerintah. Lebih gampang lagi, impor tidak memerlukan perencanaan lintas sektoral (apalagi lintas generasi) serumit dibandingkan proyek peningkatan hasil produksi.
Dalam kondisi normal, di pasar berlaku hukum penawaran dan permintaan. Kelangkaan beras serta merta menaikkan harga beras. Untuk mengontrol harga beras pada level yang diinginkan, pemerintah melakukan intervensi pasar. Saat harga beras di pasaran mulai merambat naik pemerintah melakukan operasi pasar, yaitu menjual dalam jumlah besar beras-beras persediaan pemerintah. Setelah harga berangsur turun, pemerintah menghentikan operasi pasar. Dengan demikian harga beras akan selalu stabil pada level yang diinginkan pemerintah. 
Di sini dapat dilihat bahwa ketersediaan (stok) beras pemerintah sangat menentukan kemampuan intervensi terhadap pasar. Untuk menjamin ketersediaan stok beras, pemerintah melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam sebanyak 210.000 ton dengan harga pada kisaran Rp 3.000.
Harga gabah merosot karena pasar dalam negeri memiliki kelebihan stok gabah. Produksi gabah petani mencapai 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika dijadikan beras akan  encapai jumlah 35 juta ton beras. Sementara kebutuhan konsumsi hanya 33 juta ton. Kelebihan stok sebanyak 2 juta ton yang harusnya dicarikan solusi pemasaran, justru diperparah pemerintah dengan memasukkan 210.000 ton beras impor.  Alasan pemerintah mengimpor beras sebagai antisipasi kebutuhan konsumsi memang bijaksana. Tetapi sebenarnya Bulog, sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam penyediaan beras, tidak harus mengimpor dari luar negeri. Lebih bijak jika Bulog membeli surplus beras petani pada waktu panen. Kongkretnya dengan membeli stok beras petani yang disebut di muka sebanyak 2 juta ton.
2.2 Dampak Impor Beras
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas yang jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa. Luas lahan untuk pertanian sekitar 107 juta hektar dari total luas daratan Indonesia sekitar 192 juta hektar,  tidak termasuk Maluku dan Papua, sekitar 43,19 juta hektar telah digunakan untuk lahan sawah, perkebunan, pekarangan, tambak dan ladang, sekitar 2,4 juta hektar untuk padang rumput, sekitar 8,9 juta hektar untuk tanaman kayu-kayuan, dan lahan yang tidak diusahakan seluas 10,3 juta ha. Pemerintah dalam kaitannya dengan program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), telah bersedia menyediakan 15 juta hektar untuk lahan pertanian abadi. (Republika, 25/2/2008) Sehingga sebagian besar dari penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, khususnya petani padi. Karena sebagian besar penduduk Indonesia makanan pokoknya adalah beras.
Dari penjelasan di atas, tidak mengherankan kalau pekerjaan sebagai petani paling besar jumlahnya. Sampai pada tahun 2003 saja jumlah petani di Indonesia  telah mencapai 25,6 juta rumah tangga. Tetapi, sayangnya dari jumlah tersebut, 13,7 juta rumah tangga adalah petani gurem (petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha). (Pande Radja Silalahi dalam Suara Karya, 11/01/2006) Sampai saat pertanian masih menjadi sektor utama dalam perekonomian nasional. Dengan hal-hal tersebut, sebenarnya profesi petani sangat cocok dan menguntungkan bagi penduduk indonesia.
Namun, kenyataannya hal tersebut sulit terjadi di Indonesia. Setiap panen justru yang terdengar adalah keluhan petani soal harga gabah yang selalu murah. Jangankan untung, bisa mengembalikan biaya penggarapan sawah saja sudah bersyukur. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mampu menjaga berlakunya harga dasar yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 32/1998, sehingga petani menerima harga gabah jauh di bawah harga dasar. Tujuan dari kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) adalah agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun ternyata hal itu tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah.
Dengan keberadaan tengkulak, seharusnya bisa membantu para petani. Karena petani tidak perlu susah-susah memasarkan padinya. Para tengkulak akan mendatangi mereka dan membeli hasil panenannya. Dengan begitu para petani bisa terbantu masalah penjualan, karena dengan hasil panen yang tidak terlalu besar tidak mungkin bagi para petani untuk memasarkan sendiri hasil panennya. Selain itu tengkulak juga sangat mengutungkan para pengusaha padi mitra BULOG dan BULOG itu sendiri, karena sistem distribusi padi menjadi lebih efisien. Namun walaupun demikian, ternyata para tengkulak ini bisa dan sering menciptakan harga sendiri sesuai keinginan mereka. Mereka membeli gabah para petani dengan harga yang sangat rendah dibawah HPP yang telah ditetapkan pemerintah. Sehingga yang terjadi, bukannya membantu para petani tetapi malah semakin memperburuk kondisi perekonomian para petani.
Saat ini HPP (Harga Pembelian Pemerintah) adalah Rp 2.000,- tetapi di tingkat tengkulak, gabah hanya dihargai Rp 1.600,- sampai Rp 1.800,- (Jawa Pos, 25/02/2008). Namun sekarang ini Pemerintah telah resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah dan beras melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2008 tentang Kebijakan Perberasan yang sekaligus merevisi Inpres No 3/2007. Berdasar Inpres tersebut, HPP atas gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp2.200 per kg (naik Rp200), dan harga gabah kering giling (GKG) di gudang Bulog menjadi Rp2.840 per kg (naikRp240 per kg). Untuk HPP beras di gudang Bulog dinaikkan Rp300 menjadi Rp4.300 per kg. Harga pembelian gabah dan beras di tiga luar kualitas tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Walaupun demikian, dengan berbagai alasan, para petani masih tetap memilih menjual gabahnya kepada tengkulak daripada kepada KUD atau badan-badan yang telah ditunjuk pemerintah.
Dalam hal ini, BULOG yang seharusnya bertugas dalam pembelian gabah hasil panen dari petani ternyata kurang menjalankan fungsinya. Selama ini, pemerintah melalui BULOG membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar (atau tengkulak), yang bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.
Ilustrasi menarik tentang kekuatan oligopoli pedagang beras ini dengan sangat gamblang dijelaskan dalam satu tulisan Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi, di Harian Republika (24/01/2006). Menurut Bayu, Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan.
Jatuhnya harga gabah lokal itu juga tak terlepas dari membanjirnya beras impor dan selundupan di berbagai daerah karena tak ada pengamanan yang baik. (Suara Merdeka, 21/09/2002). Kebijakan impor harusnya ditempatkan sebagai residual atau menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri. Tetapi kenyataannya, ketika musim panen raya tiba beras impor yang lebih murah membanjiri tanah air, sehingga harga gabah pun turun drastis.
Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/ pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas 2 juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras. (Supadi dalam M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall: 2006)
Masalah besar muncul kembali ketika harga pasar naik, konsumen kebingungan, tetapi petani pun ikut bingung karena kenaikan harga tidak berimbas pada kenaikan harga gabah. Kenaikan harga di tingkat konsumen ternyata tidak sebesar kenaikan harga jual mereka ke tengkulak/distributor. Misalnya naik Rp 500 di konsumen, paling hanya naik Rp 100 di sisi petani. Belum lagi karena harga pupuk dan alat pertanian tiba-tiba juga ikut naik, seakan tidak rela membiarkan petani menerima kelebihan dan berkah. Indikasinya adalah harga tidak diatur oleh supply (petani) dan demand (konsumen), karena jelas mekanisme pasarnya terdistorsi sekali. (Ekonomi-Nasional, 03/01/2007)
Pelaku ekonomi yang paling merasakan dampak langsung impor beras adalah importir beras dan kaum petani. Hanya saja dampak yang dirasakan bertolak belakang. Importir memperoleh keuntungan dari selisih harga impor yang lebih rendah dibandingkan harga domestik.
Petani mengalami kerugian akibat penurunan harga beras karena naiknya penawaran. Dampak psikologis juga dialami kaum petani. Mereka tidak termotivasi menanam padi, membiarkan sawahnya terbengkalai. Padahal tidak mudah bagi mereka memperoleh pekerjaan lain. Petani perlu memenuhi kebutuhannya, tidak adanya penghasilan bisa mendorong melakukan tindakan kriminalitas.
Pelaku ekonomi lain, pemerintah dan masyarakat, tidak merasakan dampaknya secara langsung. Pemerintah akan memperoleh pemasukan hanya apabila mengenakan tarif impor / pajak terhadap beras yang diimpor. Namun tidak mendapatkan apa pun jika tidak memberlakukan tarif.
Konsumen, yaitu masyarakat, tidak akan merasakan keuntungan atau kerugian yang berarti karena jumlah konsumen yang begitu banyak. Betapapun besar keuntungan / kerugian akibat impor beras yang dialami konsumen secara keseluruhan namun nilainya bagi masing-masing konsumen secara individu relatif kecil bahkan tak terasa sama sekali.  Dengan demikian dua pelaku ekonomi yang berhadapan karena perbedaan kepentingan adalah importir beras dan kaum petani.
Jumlah importir beras yang relatif sedikit (sekitar 20-an pemain) memperkuat koordinasi di antara mereka untuk mengadakan pendekatan dan lobi kepada pejabat pemerintah guna menurunkan peraturan bagi kepentingannya. Keuntungan yang diciptakan akan sangat berarti bagi kelompok mereka karena hanya dinikmati segelintir anggotanya.
Di sisi lain, jumlah petani yang begitu banyak dan sebagian besar merupakan masyarakat kecil, menyebabkan posisi mereka lemah di hadapan penguasa (pemerintah). Tindakan-tindakan aktif dalam rangka mencegah atau pembatalan aturan pemerintah mengenai impor beras hanya akan merugikan mereka sendiri.
Idealnya, pemerintah harus melindungi sektor-sektor perekonomian yang menyerap banyak tenaga kerja. Khususnya tenaga kerja nonterampil berupah rendah yang sulit menemukan pekerjaan lain seandainya mereka kehilangan pekerjaan yang sudah ada. Contohnya kaum petani. Namun kenyataannya pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang merugikan bagi kaum petani.
Fenomena ini dalam ekonomi internasional dapat dijelaskan dengan teori kelompok penekan (pressure group theory). Teori ini pada intinya mengemukakan, dalam kenyataan yang menerima keuntungan atas kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional bukan sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja, melainkan kelompok industri yang terorganisir serta memiliki tradisi politik yang cukup kuat.
Melalui organisasi yang mapan, mereka lebih mampu memperjuangkan kepentingannya dibanding sektor atau kelompok yang tidak ditunjang struktur organisasi yang kokoh.
Kelompok importir beras karena sudah menikmati keuntungan yang berlimpah akan berusaha sekeras mungkin mempertahankannya. Hal ini akan semakin menjadi-jadi apabila pemerintah enggan mengubah kebijakan perdagangan. Keengganan disebabkan bisa menimbulkan perubahan drastis dalam "distribusi pendapatan" terlepas dari siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan.
Penyempitan lahan pertanian telah menenggelamkan para petani sampai batas leher mereka, sementara impor adalah riak kecil yang akan seutuhnya menenggelamkan petani. Secara sederhana impor dan kemiskinan petani akan
berkeliling dan dalam lingkaran setan sebagai berikut:






Asumsi pemerintah bahwa akan terjadi kekurangan pangan menjadi dasar kebijakan melakukan impor beras. Impor yang dilakukan berhasil menurunkan harga beras di pasaran. Tetapi turunnya harga beras (yang tidak diimbangi subsidi bagi petani) membuat petani rugi. Kerugian (dalam arti harga jual lebih rendah dari biaya produksi yang dikeluarkan) membuat pertanian bangkrut.  Akhirnya (sebagian) petani memutuskan beralih profesi dan/atau mengkonversi lahan mereka ke bidang lain yang dianggap lebih menguntungkan secara finansial.
Pada musim tanam berikutnya, berkurangnya petani serta terjadinya konversi lahan menimbulkan kekurangan pangan. Demi menutup kekurangan pangan, pemerintah kembali melakukan impor beras. Tentunya jumlah beras yang diimpor menjadi lebih besar dari sebelumnya.

2.3 Solusi  (Mengganti Impor dengan Subsidi)
Menurunkan harga beras untuk menjamin kebutuhan masyarakat luas tidak bisa dilakukan dengan menekan kesejahteraan petani. Petani adalah juga rakyat yang memiliki hak sama untuk sejahtera dan mendapat untung dari usaha yang mereka lakukan. Artinya, harga beras yang relatif tinggi (terdapat selisih positif antara biaya produksi dengan harga pasaran) dan menguntungkan petani seharusnya tidak dilihat sebagai faktor yang merugikan kepentingan masyarakat lain.
Pemerintah harus bersikap adil, di satu sisi melindungi ketersediaan dan keterjangkauan beras bagi masyarakat luas, sementara di sisi lain juga harus menjaga kesejahteraan (tingkat keuntungan jual beli) petani. Maka yang harus dilakukan adalah memberikan subsidi kepada petani lokal. Subsidi yang diberikan, akan menguntungkan dan mengurangi biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Serta, di sisi lain akan membuat harga beras di pasaran relatif rendah. Dengan demikian masyarakat luas dapat menikmati beras dengan harga terjangkau tanpa harus mengorbankan petani. Bukankah tujuan negara memang mencapai bonum publicum?
Kebijakan impor harus segera dihentikan dan diganti dengan kebijakan jangka panjang peningkatan hasil pertanian. Peralihan dari kebijakan impor menuju kebijakan peningkatan hasil produksi tidak semudah membalik telapak tangan. Perubahan ini hanya bisa dilakukan secara bertahap. Untuk sementara, sebelum benar-benar ditemukan format pembangunan pertanian yang tepat, subsidi harus diberikan kepada petani. Subsidi ditujukan untuk mengurangi biaya produksi yang meliputi penyediaan bibit padi, pupuk, serta peralatan pendukung lainnya.
Masih dalam Sensus Pertanian 2003, sejumlah 25% dari petani mengaku kesulitan mendapat sarana produksi, seperti pupuk dan pestisida. Sensus juga
menunjukkan bahwa kesulitan tersebut diakibatkan mahalnya harga (59%), lokasi terpencil (17%), sarana produksi tidak tersedia (13%), dan sisanya karena alasan lainlain.
Dengan adanya subsidi sarana produksi (yang didukung penghentian impor beras) petani (gurem) akan mendapat keuntungan dari hasil pertaniannya. Meskipun keuntungannya relatif kecil, dengan pengelolaan yang tepat akan bisa dipergunakan untuk mematahkan siklus kemiskinan petani. Pematahan siklus kemiskinan petanidilakukan dengan mengarahkan penggunaan keuntungan tersebut ke dalam sektoryang paling strategis, yaitu (pembiayaan) pendidikan. Sebagai ilustrasi tentang intervensi pendidikan dalam mematahkan kemiskinandan meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, bisa disimak bagan berikut:
 
Kita ambil contoh keluarga petani berlahan o,5 ha yang memiliki tiga orang anak. Kewajiban petani (sebagai orang tua) adalah mewariskan sawah seluas 0,5 ha dengan adil kepada ketiga anaknya. Jika dilakukan, pewarisan ini akan mengakibatkan luas lahan yang dikuasai masing-masing anak hanya 0,166 ha. Penguasaan yang semakin menyempit, mengakibatkan mereka semakin terpuruk dalam kemiskinan karena tidak mencukupinya penghasilan pertanian untuk bertahan hidup.
Dengan campur tangan pemerintah dalam subsidi pertanian (apalagi jika diimbangi dengan subsidi pendidikan), keluarga petani tersebut dapat mengirimkan anak kedua dan anak ketiga ke sekolah. Dengan asumsi bahwa sekolah mampu meningkatkan ketrampilan murid-muridnya, maka kedua anak petani akan mampu bersaing di luar sektor pertanian. Mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan tentu saja mengalami peningkatan penghasilan.
Di sisi lain, karena anak kedua dan anak ketiga bekerja di sektor non-pertanian, maka lahan pertanian keluarga seluas 0,5 ha dikelola sepenuhnya oleh anak pertama saja. Dengan demikian pemecahan lahan pertanian tidak terjadi. Meskipun luas lahan yang sama tidak membuat anak pertama menjadi lebih sejahtera, namun setidaknya dia tidak terpuruk menjadi lebih miskin.
Sementara pada anak kedua dan ketiga yang bekerja di sektor non-pertanian, tentu memiliki penghasilan yang (relatif) lebih besar. Penghasilan ini bisa diarahkan sebagai investasi pertanian di lahan keluarga mereka. Investasi yang dilakukan terutama dalam bidang peningkatan teknologi pertanian.
Pertama, jika kita asumsikan mayoritas petani di Indonesia melakukan hal yang sama, maka peningkatan produksi padi akan menciptakan surplus beras nasional. Stok berkelimpahan akan menjamin kecukupan pangan masyarakat.
Kedua, bagi keluarga petani itu sendiri, peningkatan produksi memberikan keuntungan finansial. Keuntungan ini bisa diinvestasikan kembali kepada sektor pendidikan. Dengan demikian siklus peningkatan kualitas pendidikan dan ketersediaan pangan akan terus berulang dengan derajat hasil yang semakin membesar.





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
          Tindakan pemerintah mengambil kebijakan impor beras sangat tidak tepat karena lebih banyak menimbulkan kerugian bagi negara walaupun tujuannya menjaga stabilitas pangan namun adanya alternatif lain seperti memberikan subsidi kepada para petani sehingga bisa meningkatkan produksi padi.
Semua kajian yang berupaya menemukan cara memutus lingkaran kemiskinan petani tidak ada artinya tanpa keinginan serius dari pemerintah untuk menjalankan. Yang paling dibutuhkan dari pemerintah adalah keberpihakan ideologis kepada petani. Pemerintah harus memiliki good will untuk melepaskan petani dari jeratan kemiskinan struktural, bukannya justru mengabaikan mereka demi memenuhi sopan-santun hubungan perdagangan internasional.

Biaya-biaya manusiawi yang paling menekan adalah yang berkenaan dengan kekurangan dan penderitaan fisik. Tuntunan moral yang paling mendesak dalam pengambilan kebijaksanaan politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.”

















DAFTAR PUSTAKA
www.cybernews.com
www.Jakartrapost.com
www.hariankompas.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar