BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku individu dalam setiap segi
kehidupan memberikan pengaruh bagi keadaan di sekitarnya. Dalam
berorganisasi khususnya organisasi pemerintah, hal ini menjadi hal yang sangat
penting karena ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki oleh seorang
individu saat berada di dalam suatu lingkungan, selain itu hal ini pun menjadi
sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara.
Saya
memutuskan untuk membahas mengenai etika organisasi pemerintah karena ini
merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan yang sukses dan
tidak melenceng dari jalur norma-norma yang ada.
Alasan lain kami memilih bahasan ini ialah
munculnya kasus-kasus yang berkaitan dengan melencengnya perilaku yang
seharusnya dimiliki oleh seorang individu yang berada dalam suatu organisasi,
khususnya organisasi pemerintah. Sehingga mengakibatkan lunturnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah atu sistem kepemerintahan pada umumnya.
1.2 Tujuan
- Mengetahui lebih dalam cara berperilaku yang baik
dalam suatu organisasi, khususnya organisasi pemerintah.
- Agar para individu di dalam kepemerintahan dapat
mengaplikasikan etika organisasi pemerintah yang seharusnya.
- Memberikan masukan atau solusi bagi masalah yang
tengah terjadi dan kami angkat dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI ETIKA,MORAL,ETIKET
Biasanya bila kita mengalami kesulitan
untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam
kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata
secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan
oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia
yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa
PENGERTIAN ETIKA
Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip
dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 - mengutip dari
Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Dari perbadingan kedua
kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya
terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa
Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca
sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia bisnis etika merosot terus”
maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus
Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’
dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’
dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik
dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga
arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.Misalnya, jika orang berbicara tentang
etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang
dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai
sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan
maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.Yang dimaksud di sini adalah kode etik.
Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi
ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan
sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
PENGERTIAN MORAL
PENGERTIAN MORAL
Istilah Moral berasal
dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk
jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara
etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut
sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti
kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa
asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin.
Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak
bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata
sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’,
hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”,
artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk.
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan
barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang
barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu
diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.
Perbedaan Etiket dengan Etika
K. Bertens dalam
bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan
etiket dengan etika, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan
manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus
menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan
tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
Pengertian Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.
Pengertian Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada
orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau
tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan
bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya
dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada
orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara
demikian.
Arti Etika selalu berlaku, baik
kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu
berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam
selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan
dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
4.. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang
pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai
“manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh
kebusukan.
Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin
bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang
sungguh-sungguh baik.
2.2 Pengertian Etika
Organisasi Pemerintah
Dalam pengertian sempit,
etika sama maknanya dengan moral, yaitu adat istiadat atau kebiasaan. Akan
tetapi, etika juga merupakan bidang studi filsafat atau ilmu tentang adat atau
kebiasaan. Sementara itu dalam konteks organisasi, pengertian etika organisasi
yaitu pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok
anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan membentuk budaya organisasi
(organizational culture) yang sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi
yang bersangkutan.
2.3
UU Etika Pemerintahan
Karena tidak ada aturan hukum tertulis yang dilanggar, pemerintah pusat
merasa kesulitan untuk melarang tindakan yang tidak etis tersebut. Dari sini,
pemerintah pusat merasa perlu untuk menyusun UU ini. Pemerintah sedang
berancang-ancang untuk membuat Undang-Undang (UU) Etika Pemerintahan. Dengan
merancang UU ini, pemerintah berharap masalah-masalah etika di pemerintahan
selama ini dapat diatur dan diperjelas (Koran Jakarta, 24/4/2012).
Masalah yang dimaksud mungkin banyak.
Namun, yang paling menyita perhatian adalah kasus para kepala daerah yang turut
berdemonstrasi menentang pemerintah pusat menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM). Turut disorot pula sikap kepala daerah yang sudah menjabat selama dua
periode berniat mencalonkan kembali sebagai wakil kepala daerah.
\Pemerintah pusat menganggap telah terjadi
situasi yang rumit. Di satusisi, pemerintah pusat menganggap bahwa kerap
terjadi pelanggaran etika yang dilakukan kepala daerah. Namun, di sisi lain,
banyak kepala daerah menganggap mereka melakukan tindakan yang benar karena
tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Karena tidak ada aturan
hukum tertulis yang dilanggar, pemerintah pusat merasa kesulitan untuk melarang
tindakan yang tidak etis tersebut. Dari sini, pemerintah pusat merasa perlu
untuk menyusun UU ini.
Sekalipun niat awal pembentukan UU Etika
baik, secara normatif, patut dipertanyakan urgensinya karena sistem hukum
sesungguhnya telah mengantisipasi permasalahan tersebut. Sekiranya terjadi sesuatu
yang debatable mengenai boleh tidaknya suatu tindakan yang tidak diatur dalam
peraturan tertulis, solusinya mencari hukum.
Misalnya, menggunakan logika hukum serta
menggali nilai-nilai hukum yang terdapat pada norma hukum dan asas hukum,
perasaan hukum dan keadilan masyarakat, atau mencari nilai filosofis yang
terkandung dalam suatu peraturan hukum.Satjipto Rahardjo menjelaskan konsep ini
dengan contoh sederhana. Sekiranya ada orang waras yang buang air kecil di
kelas, tindakan orang tersebut salah. Kesimpulan tersebut tidak harus
berpatokan pada ada tidaknya aturan tertulis yang menyatakan, "dilarang
buang air kecil di kelas", namun dapat berpatokan pada asas kepantasan
yang hidup dalam masyarakat, buang air kecil harus di toilet.
Mekanisme serupa sesungguhnya juga dapat
menjadi solusi pada kasus-kasus etika dalam pemerintahan. Upaya untuk mencegah
kepala daerah berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah pusat tidaklah
harus diatur dengan peraturan tertulis, cukup merujuk pada asas-asas umum pemerintahan
yang baik (AUPB).
Salah satu poin dari AUPB tersebut
menyatakan suatu wewenang yang sah tidak boleh untuk menarik wewenang yang sah
dari penguasa lainnya (Laydersdoff dalam Erliyana, 2007). Kepala daerah memang
berwenang menyerap aspirasi warganya, namun wewenang tersebut tidak boleh untuk
"mengganggu" wewenang pemerintah pusat. Terkait unjuk rasa
kepala daerah yang menentang kenaikan harga BBM, itu erat dengan wewenang
pemerinta pusat sebab penentuan harga BBM merupakan masalah yang terkait dengan
fiskal dan moneter. Dua hal tersebut, menurut Pasal 10 Ayat (3) UU 32/2004,
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Lebih dari itu, semangat konsep
pemerintahan didesain menuntut agar pemerintah daerah senantiasa segaris dengan
pusat. Konsep ini terefleksikan dari Pasal 1 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara kesatuan. Dengan demikian, kasus demonstrasi kepala
daerah dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak etis.
Pendekatan serupa juga dapat untuk
membendung kasus kepala daerah yang sudah selesai menjabat selama dua periode
namun masih ingin mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah dalam pilkada
selanjutnya. Pemerintah tidak perlu repot-repot membuat aturan tertulis untuk
melarang niat tersebut karena pemerintah dapat menolak berdasarkan doktrin
hukum. Hipotesis Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup telah
diakui dan menjadi sebuah doktrin dalam ilmu hukum. Berdasarkan hipotesis
tersebut, besaran serta durasi kekuasaan senantiasa harus dibatasi.
Khusus untuk pembatasan durasi kekuasaan,
sistem pemerintahan telah menyepakati masa dua periode adalah masa yang
maksimal dalam memangku jabatan (Pasal 7 UUD 1945, Pasal 110 Ayat 3 UU
32/2004). Oleh karena itu, upaya akal-akalan untuk menjabat ketiga kalinya
patut dipandang sebagai tindakan yang tidak etis.
Maka dari itu, elaborasi tersebut memberi
pesan bahwa etis atau tidak etisnya suatu tindakan sudah dapat terlihat jelas
sekalipun tanpa mengatur etika dalam suatu peraturan tertulis. Untuk itu,
wacana UU Etika Pemerintahan tidak perlu.Lebih dari itu, mengatur etika dalam
bentuk peraturan tertulis dapat mengunci fleksibilitas penemuan hukum tadi. Apabila
UU ini lahir, pemerintah dan masyarakat baik secara sadar maupun tidak akan
terdorong untuk menggunakan UU ini sebagai kiblat. Akibatnya, penggalian nilai
hukum dari asas, norma, atau sumber lainnya terpinggirkan.
Padahal, suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh hidup masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan tersebut.
Padahal, suatu peraturan tidak akan pernah sempurna mengatur secara lengkap seluruh hidup masyarakat sehingga selalu saja ditemukan kekurangan dalam aturan tersebut.
Perlu pula diwaspadai sifat dari peraturan
tertulis yaitu cepat usang. Peraturan selalu berjalan tertatih-tatih di
belakang kenyataan. Akibatnya, jika di masa depan terdapat kejadian yang
dianggap tidak etis, namun tidak diatur dalam UU ini, pelanggar juga dapat
menghindar karena tidak diatur dalam UU. Dengan demikian, baik kiranya
pemerintah mempertimbangkan kembali rencana penyusunan UU Etika Pemerintahan.
Selain karena dipandang tidak perlu, pengaturan etika dalam peraturan tertulis
justru akan mengurangi fleksibilitas para pemangku kepentingan dalam menilai
etis tidaknya suatu tindakan pemerintah.
2.4 Masalah Etika
Organisasi Pemerintah
Dewasa ini, banyak
sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika organisasi
pemerintah. Salah satu contoh nyata yang masih saja dilakukan oleh
individu dalam organisasi pemerintah yaitu KKN.
Adapun definisi KKN
yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang
melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan
tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di
tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Praktek KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang
perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh
menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada
beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup
besar.
Sebutlah kasus
penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun
tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas,
dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas
bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang
melibatkan salah satu pejabat Jampidsus beberapa waktu yang lalu.
Praktek KKN dalam
organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan etika
organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang
seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi
pemerintah, yakni melayani rakyat dengan baik dan berusaha memberikan yang
terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya peraktek KKN jelas
merugikan bangsa dan negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kritik dan Saran
Mungkin kalau kita tidak
terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus tetapi secara sistimatis
dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi dulu, maka program
pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana ekonomi, mengenai
korupsi telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk menyidik dan memberi
sanksi ke pada mereka yang melanggarnya. Dalam proses ini sebagian dari masalah
kolusi dan nepotisme juga akan terungkap dan bisa dilaksanakan penindakan
terhadap pelanggarnya.
Akan tetapi berkaitan
dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan korupsi, yang
dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah
untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi
dan nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender,
kontrak, serta ketentuan mengenai ‘governance’ pada umumnya. Mengenai langkah
ke depan menghilangkan masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi
kebiasaan hidup lebih besar pasak dari tiang pada tulisan lain.
3.2 Kesimpulan
Dari uraian di atas,
dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:
1. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis
perbankan dan para oknum- oknum penyeleggara pemerintahan yang melakukan
hal-hal yang merugikan negara dan perusahaan-perusahaan seperti contoh kegiatan
KKN. Ini dibuktikannya banyak para koruptor yang tidak memiliki moral yang
mendekam dipenjara
2. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan
semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih merupakan sosok pibadi yang lugu
dan utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Fernanda, M.Soc.Sc, Drs.Desi. 2006.Etika
Organisasi Pemerintah:Modul Pendidikan Dan Pelatihan Prajabatan Golongan
III.Jakarta.Lembaga Administrasi Negara