disusun oleh:
I Ketut Yuda Suartana
21. 0880
A - 3
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan
Akhir ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri, dan di dalamnya tidak terdapat
karya yang telah diajukan untuk memenuhi tugas di suatu perguruan tinggi, dan
lembaga pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil
penerbitan maupun yang belum/ tidak diterbitkan, sumbernya telah dijelaskan di
dalam tulisan dan daftar pustaka dari tulisan ini.
Mataram, 2 Januari 2012
I
Ketut Yuda Suartana
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan Laporan Akhir ini tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah
ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan bantuan
dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Laporan Akhir ini.
Semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Laoran Akhir ini berjudul “ Penyelesaian Sengketa Tanah Dengan Mediasi”
Saya menyadari bahwa Laporan Akhir ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
menjadi informasi kepada kita sekalian.
Mataram,
Januari 2012
Penulis
ABSTRAK
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut
hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga
berfungsi sosial, oleh arena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut
dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas
tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga
berbentuk tanah atau fasilitas lain. Beberapa permasalahan tanah, bisa
diselesaikan dengan baik oleh Kantor Pertanahan (BPN) melalui ”mediasi”.
Mediasi adalah salah satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa (APS),
di samping negosiasi,arbitrase, dan pengadilan.
Peran Kantor Pertanahan dalam rangka
penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan dan analisa
yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah
secara mediasi di Kantor Pertanahan. Metode yang digunakan adalah yuridis
empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga
melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Teknik analisis data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul
kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya
dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik
kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang
bersifat khusus. Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil : 1) Sebagai mediator,
Kantor Pertanahan Jakarta Utara mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu mencari hal-hal yang dianggap penting bagi
mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai
perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan
persoalan-persoalan ada; dan 2) Mediasi dilingkungan instansi pertanahan dalam
hal ini Kantor Pertanahan sebenarnya juga secara tidak di sadari telah di
jalankan olah aparat pelaksanasecara sporadis dengan mengandalkan kreatifitas
dan seni di dalam gaya epemimpinan masing-masing pejabat, tetapi baru pada saat
sekarang ini upayamediasi telah memiliki payung hukumnya di lengkapi pedoman
serta petunjuk teknis yang memadai sehingga tidak ada keraguan lagi bagi aparat
pelaksana untuk menjalankannya.
ABSTRACT
Problems, problems of land is the most basic rights of
the people. Land beside the economical value of social work, the arena that
private interests are being sacrificed on the land use public interest. This is
done by the release of land rights to recover damages in the form of not only
money but also in the form of land or other facilities. Some of the problems of
land, can be resolved well by the Office of defense (BPN) through the
"mediation". Mediation is one part of the alternative dispute
resolution (APS), as well as negotiation, arbitration, and judicial.
Role Land Office in order to resolve disputes by
mediation in the Office land Land and analysis done by the Office Land in order
to resolve disputes by mediation in land Land Office. The method used is the
Juridical empirical, that is a research as well as see the positive aspects of
the law is also seen in its application or practice in the field. Data analysis
technique used was a descriptive qualitative, that is after the data collected
and then poured in logical and systematic description, further analyzed to
obtain clarity of solution, then pulled a deductive inference, that the things
that are general to the specific nature of the case. Based on research,
obtained results: 1) As mediators, Office Land North Jakarta has a role to help
the parties in understanding their views and help you find things that are
important to them. Mediators facilitate the exchange of information, encourage
discussion about the differences of interest, perception, interpretation of the
situation and the questions there, and 2) Mediation circles land agencies in
this regard actually Land Office also not aware if the agency has carried out
sporadic pelaksanasecara with rely on creative and artistic in their styles
epemimpinan office, but at present this new upayamediasi have legal umbrella in
the complete guidelines and adequate technical instructions so there is no
doubt of the implementing agency to implement it.
DAFTAR
ISI
PERNYATAAN
................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ......................................................................... ii
ABSTRAK
........................................................................................... iii
ABSTRCT
........................................................................................... iv
DAFTAR
ISI ......................................................................................... v
BAB
I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................ 1
1.3
Tujuan Penelitian............................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 3
2.1 Pengertian Tanah.............................................................. 3
2.2 Pengertian Sengketa Tanah .......................................... 4
2.3 Mediasi.. ............................................................................... 6
2.4 Hal-hal yang
Menyebabkan Terjadinya Sengketa
Tanah...................................................................................... 9
2.5 Studi Kasus ........................................................................ 10
2.6 Analisis Penyelesaian Sengketa Tanah Secara
Mediasi di Kantor
Pertanahan Jakarta Pusat..............
16
2.7 Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah .................................................................. 19
BAB
III PENUTUP .............................................................................. 21
3.1 Kesimpulan ......................................................................... 21
3.2 Saran ..................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia hidup serta melakukan
aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan
tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pada saat manusia meninggal
dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan
menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa
tanah di dalam masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian
antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak menuntut/mearasa mendapata
ketidakadilan.
Saat ini tanah sangat bagus untuk
dijadikan investasi jangka panjang, sehingga tidak sedikit orang ribut akibat
memperebutkan tanah yang kini harga tanah sangat cepat meningkat harganya. Mencuatnya
kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali
menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih
belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas
menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang
menjadi kepemilikan individual.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari laporan akhir ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa
tanah dengan cara mediasi, dan mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terkait
didalamnya dan mengetahui peran masing-masing sesuai peraturan yang berlaku.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan penulisan laporan akhir ini
adalah sebaga berikut :
1. Untuk
mengetahui sengketa tanah.
2. Untuk
mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek
sengketa tersebut .
3. Guna
menambah wawasan dan pengetahuan bagi para praja mengenai cara menangani suatu
sengketa atas tanah .
4. Dapat
bermanfaat dan memberikan informasi tentang penyelesaian sengketa tanah melalui
mediasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tanah
Sebutan "tanah" dalam bahasan ini
dapat dipahami dengan berbagai arti,
maka penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah
tersebut digunakan. Dalam hukum tanah sebutan istilah "tanah"dipakai
dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi
oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa; "Atas dasar hak menguasai dari Negara
..., ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah
yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang.". Tanah
dalam pengertian yuridis mencakup permukaan bumi sebagaimana diatur dalam Pasal
4 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hak tanah mencakup hak atas
sebagian tertentu yang berbatas di permukaan bumi. Tanah diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Diberikannya dan dipunyai tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna
jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk
keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagai
tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang di permukaan
bumi. Oleh karena itu, dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk
menggunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut
tanah", tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa
yang ada di atasnya, dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah
tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang
menggunakan yang bersumber dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi juga
penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah, air serta ruang yang
ada di atasnya.
Menurut Parlindungan tanah hanya merupakan
salah satu bagian dari bumi. Pembatasan pengertian tanah dengan permukaan bumi
seperti itu juga diatur dalam penjelasan Pasal Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 bagian II angka I bahwa dimaksud
dengan tanah ialah permukaan bumi.
Pengertian tanah dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 51 PRP
Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin yang Berhak
atas Kuasanya, dirumuskan:
(1) Tanah yang langsung dikuasai oleh
negara;
(2) Tanah yang tidak dikuasai
oleh negara yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perorangan atau badan hukum.
Tanah dalam pengertian geologis agronomis,
diartikan lapisan permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk
menanam tumbuh-tumbuhan yang disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian,
tanah perkebunan, dan tanah bangunan yang digunakan untuk mendirikan bangunan.
Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan pengertiam tanah ialah bagian permukaan bumi
termasuk tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air yang langsung
dikuasai oleh negara atau dipunyai dengan sesuatu hak oleh perorangan atau badan
hukum. Fokus kajian dalam tesis ini dibatasi pada konflik pertanahan di
permukaan bumi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), khususnya yang terkait dengan hak milik
atas tanah. Konflik pertanahan menurut A. Hamzah diistilahkan dengan delik di
bidang pertanahan, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian, yang
meliputi: (1) Konflik pertanahan yang diatur dalam kodifikasi hukum pidana,
yakni konflik (delik) pertanahan yang diatur dalam beberapa Pasal yang tersebar
dalam kodifikasi hukum pidana (KUHP); (2) Konflik pertanahan yang diatur di
luar kodifikasi hukum pidana, yakni konflik (delik) pertanahan yang khusus
terkait dengan peraturan perundang-undangan pertanahan di luar kodifikasi hukum
pidana.
2.2 Pengertian Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini kasus pertanahan
muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara
makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
·
Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
·
Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
·
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan
antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan
lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum
yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain
dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau
dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan
sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
Konflik menurut pengertian hukum adalah
perbedaan pendapat, perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak
dan ewajiban
pada saat dan keadaaan yang sama. Secara umum
konflik atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan pendapat yang
berlainanantara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang
sama. Selanjutnya, kata "konflik" menurut Kamus Ilmiah Populer adalah
pertentangan, pertikaian, persengketaan, dan perselisihan. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia diartikan dengan pertentangan, percekcokan Merujuk pada pengertian tersebut, dapat
dipahami bahwa kata "'konflik" mempunyai pengertian yang lebih luas,
oleh karena istilah konflik tidak hanya digunakan dalam kasus pertanahan yang terkait
dengan proses perkara pidana, juga terkait dalam proses perkara perdata dan
proses perkara tata usaha negara. Dalam penelitian ini konflik yang dimaksudkan
adalah konflik pertanahan yang terkait proses perkara pidana, khususnya
ketentuan perundang-undangan di luar kodifikasi hukum pidana.
2.3 Mediasi
A. Pengertian Mediasi
Secara etimologi
(bahasa), mediasi berasal dari bahasa latin mediare yang berarti “berada
di tengah” karena seorang yang melakukan mediasi (mediator) harus berada
ditengah orang yang berikai. Dari segi terminologi (istilah) terdapat banyak
pendapat yang memberikan penekanan yang berbeda tentang mediasi. Meski banyak yang memperdebatkan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan mediasi,
namun setidaknya ada beberapa batasan atau definisi yang bisa dijadikan acuan.
Salah satu diantaranya adalah definisi yang diberikan oleh the National
Alternative Dispute Resolution Advisory Council yang mendefinisikan mediasi
sebagai berikut:
“Mediation is a process in which
the parties to a dispute, with the assistance of adispute resolution
practitioner (the mediator), identify the disputed issues, developoptions,
consider alternatives and endeavour to reach an agreement. The mediatorhas no
advisory or determinative role in regard to the content of the dispute or
theoutcome of its resolution, but may advise on or determine the process of
mediation where by resolution is attempted.”
(Mediasi merupakan sebuah proses dimana
pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi
pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isuyang dipersengketakan,
mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk
mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal inisang mediator tidak memiliki peran
menentukan dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau hasil dari
resolusi persengketaan tersebut, tetapi ia (mediator) dapat memberi saran
atau menentukan sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah
resolusi/penyelesaian), jadi secara singkat bisa digambarkan bahwa mediasi
merupakan suatu proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai
penyelesaian yang memuaskan
melalui pihak ketiga yang netral
(mediator).
Keberhasilan mediasi bisa dipengaruhi oleh
beberapa hal, seperti kualitas mediator (training dan profesionalitas),
usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua pihak yang sedang bertikai, serta kepercayaan
dari kedua pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan terhadap mediator,
kepercayaan terhadap masing-masing pihak. Seorang mediator yang baik dalam
melakukan tugasnya akan merasa sangat senang untuk membantu orang lain
mengatasi masalah mereka sendiri, ia akan berindak netral seperti seorang ayah
yang penuh kasih, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, mempunyai metode
yang harmonis, mempunyai kemampuan dan sikap, memiliki integritas dalam
menjalankan proses mediasi serta dapat dipercaya dan berorientasi pada
pelayanan.
Beberapa sikap dasar yang harus dimiliki oleh
mediator adalah: bersikap terbuka, mandiri, netral, percaya diri, menghormati
orang lain, seimbang, mempunyai komitmen, fleksibel, bisa memimpin proses
mediasi dengan baik, percaya pada orang lain dan bisa dipecaya oleh orang lain
serta berorientasi pada pelayanan. Dengan kata lain, ketika membantu
menyelesaikan konflik, seorang mediator/penegah harus:
a. Fokus pada persoalan, bukan
terhadap kesalahan orang lain;
b. Mengerti dan menghormati
terhadap setiap perbedaan pandangan;
c. Memiliki keinginan berbagi dan
merasakan;
d. Bekerja sama dalam
menyelesaikan masalah.
B. Model Mediasi
Ada beberapa
model mediasi yang perlu diperhatikan oleh pelajar dan praktisi mediasi.
Lawrence Boulle, professor of law dan associate director of the Dispute
Resolution Center, Bond University mengemukakan bahwa model-model ini
didasarkanpada model klasik tetapi berbeda dalam hal tujuan yang hendak dicapai
dan cara sang mediator melihat posisi dan peran mereka. Boulle menyebutkan ada
empat model mediasi, yaitu: settlement mediation, facilitative mediation,
transformative mediation, dan evaluative mediation.
Settlement mediation yang juga dikenal sebagai mediasi kompromi merupakan mediasi yang
tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dalam
mediasi model ini tipe mediator yang dikehendaki adalah yang berstatus tinggi
sekalipun tidak terlalu ahli di dalam proses dan teknik-teknik mediasi. Adapun
peran yang bisa dimainkan oleh mediator adalah menentukan bottom lines
dari disputants dan secara persuasif mendorong disputants untuk sama-sama
menurunkan posisi mereka ke titik kompromi.
Facilitative mediation yang juga disebut sebagai mediasi yang berbasis kepentingan
(interest-based) dan problem solving merupakan mediasi yang bertujuan untuk
menghindarkan disputants dari posisi mereka dan menegosasikan kebutuhan dan
kepentingan para disputants dari pada hak-hak legal mereka secara kaku.ini sang
mediator harus ahli dalam proses dan harus menguasi teknik-teknik mediasi,
meskipun penguasaan terhadap materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak
terlalu penting. Dalam hal ini sang
mediator harus dapat memimpin proses mediasi dan mengupayakan dialog yang
konstruktif di antara disputants, serta meningkatkan upaya-upaya negosiasi dan
mengupayakan kesepakatan.
Dalam model Transformative mediation yang juga dikenal sebagai
mediasi terapi dan rekonsiliasi, merupakan mediasi yang menekankan untuk
mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan di antara disputants,
dengan pertimbagan untuk meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan
dan pemberdayaan sebagai dasar dari resolusi (jalan keluar) dari pertikaian
yang ada.Dalam model ini sang mediator harus dapat menggunakan terapi dan
teknik professional sebelum dan selama proses mediasi serta mengangkat isu
relasi/hubungan melalui pemberdayaan dan pengakuan.
Sedangkan evaluative mediation yang
juga dikenal sebagai mediasi normative merupakan model mediasi yang bertujuan
untuk mencari kesepakatan berdasarkan pada hak-hak legal dari para disputans
dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.sang mediator haruslah seorang
yang ahli dan menguasai bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli
dalam teknik-teknik mediasi. Peran yang bisa dijalankan oleh mediator dalam hal
ini ialah memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para disputans,
dan memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapatkan.
2.4 Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa
Tanah
Menurut
Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah:
1. Persoalan
administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah
yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak
merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk
tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik
secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi
tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan
liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata
didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas
tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah
membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian?
karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan
agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
2.5 Studi Kasus
“Mediasi Di Kantor Pertanahan Jakarta Utara”
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan
lembaga pemerintahan yang bertugas untuk melaksanakan dan mengembangkan
administrasi pertanahan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, penyelesaian
masalah pertanahan merupakan salah satu fungsi yang menjadi kewenangan BPN. Penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi
oleh BPN perlu dilandasi dengan kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Hal ini penting sebagai landasan BPN untuk
mediator didalam penyelesaian sengketa pertanahan, karena pertanahan dikuasai
oleh aspek hukum publik dan hukum privat maka tidak semua sengketa pertanahan dapat
diselesaikan melalui lembaga mediasi, hanya sengketa pertanahan yang dalam
kewenangan sepenuhnya dari pemegang hak saja yang dapat diselesaikan melalui
lembaga mediasi. Oleh karena itu kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa
melalui mediasi dilakukan pembatasan-pembatasan hal ini dimaksudkan agar
putusan mediasi tersebut tidak melanggar hukum serta dapat dilaksanakan secara
efektif dilapangan.
Penyelesaian
sengketa tanah mencakup baik penanganan masalah
pertanahan oleh BPN sendiri maupun penanganan
tindak lanjut penyelesaian masalah oleh lembaga lain. Berkait dengan masalah
pertanahan yang diajukan, BPN mempunyai kewenangan atas prakarsanya sendiri
untuk menyelesaikan permasalahan yang dimaksud. Dasar hukum kewenangan BPN
sebagaimana telah dikemukakan secara eksplisit, tercantum dalam Keputusan
Kepala BPN Nomor 6 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) PMNA /
KBPN No. 1 Tahun 1999 tentang Tatacara Penanganan Sengketa Pertanahan, sengketa
pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai:
a. Keabsahan suatu hak;
b. Pemberian hak atas tanah;
c. Pendaftaran hak atas tanah
termasuk peralihannya dan penerbitan tanda
bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Penanganan masalah pertanahan melalui lembaga
mediasi oleh BPN biasanya didasarkan dua prinsip utama, yaitu:
a. Kebenaran-kebenaran formal
dari fakta-fakta yang mendasari
permasalahan yang bersangkutan;
b. Keinginan yang bebas dari para
pihak yang bersengketa terhadap objek yang disengketakan.
Untuk mengetahui kasus posisinya tersebut
perlu dilakukan penelitian dan pengkajian secara yuridis, fisik, maupun
administrasi. Putusan penyelesaian sengketa atau masalah tanah merupakan hasil
pengujian dari kebenaran fakta objek yang disengketakan. Output-nya
adalah suatu rumusan penyelesaian masalah berdasarkan aspek benar atau salah,
das Sollen atau das Sein.
Dalam rangka penyelesaian masalah sengketa
tersebut untuk memberikan perlakuan yang seimbang kepada para pihak diberikan
kesempatan secara transparan untuk mengajukan pendapatnya mengenai
permasalahan
tersebut. Di samping itu, dalam kasus-kasus tertentu epada
mereka dapat diberikan kebebasan untuk
menentukan sendiri rumusan penyelesaian masalahnya. Dalam hal ini BPN hanya
menindaklanjuti pelaksanaan putusan secara administratif sebagai rumusan
penyelesaian masalah yang telah mereka sepakati. Berdasarkan kewenangan penyelesaian masalah
dengan cara mediasi itu dapat memberikan pengaruh terhadap putusan penyelesaian
masalah sehingga disamping dapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatan, sekaligus
juga dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum, dengan demikian mediasi
oleh BPN bersifat autoritatif.
Pertanahan pada hakikatnya mempunyai
kedudukan yang sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia secara
pribadi, dalam pergaulan masyarakat maupun bagi Negara. Dalam kehidupannya
secara pribadi, hidup dan kehidupan manusia tidak terpisahkan dengan tanah.
Sepanjang hidupnya manusia selalu berhubungan dengan tanah dan diatas tanahlah
manusia melakukan kegiatan maupun mencari penghidupan. Oleh karena itu,
hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Tanah merupakan sumber kemakmuran
dan kebahagiaan, baik secara lahiriah maupun batiniah. Bagi masyarakat dan
bangsa Indonesia pada umumnya diyakini bahwa tanah merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional. Oleh karena itu, hak penguasaan yang tertinggi
atas tanah diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hak
Bangsa Indonesia. Implikasinya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
pribadi harus memperhatikan kepentingan bangsa atau kepentingan yang lebih
besar dalam masyarakat. Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam pengertian
sumber kemakmuran, tanah tersebut merupakan
kekayaan nasional. Dari konsep hubungan yang
demikian ini, hubungan bangsa Indonesia dengan tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia bersifat abadi.selain itu bagi Negara, tanah dalam pengertian
kewilayahan merupakan yuridiksi serta berbagai unsur persatuan dan kesatuan
Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dimengerti bahwa pengelolaan
pertanahan dapat dilihat dari aspek publik dan aspek privat. Dari aspek publik,
tanah dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Berdasarkan hal ini Negara mempunyai kewenangan mengatur bidang
pertanahan. Dari aspek privat, hak-hak tanah mengandung kewenangan bagi
pemegang hak untuk menggunakan tanah tersebut dan melakukan perbuatan-perbuatan
hukum. Jadi, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah oleh
pemegang hak dibatasi dengan peraturan perundang-undangan. Kepentingan
masyarakat maupun kepentingan Negara inilah yang menyebabkan sengketa dibidang
pertanahan tidak dapat sepenuhnya
diselesaikan dengan melalui lembaga mediasi secara murni.
Penyelesaian sengketa pertanahan termasuk
melalui mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional perlu dilandasi dengan
kewenangan-kewenanganyang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini
penting sebagai landasan BPN untuk menjadi mediator di dalam penyelesaian
sengketa pertanahan, oleh karena pertanahan dikuasai aspek hukum publik dan
hukum privat, tidak semua sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui
lembaga mediasi.
Hanya sengketa pertanahan yang dalam
kewenangan sepenuhnya dari pemegang hak yang dapat diselesaikan melalui lembaga
mediasi. Oleh karena itu, kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa
melalui mediasi dilakukan pembatasan-pembatasan. Hal ini dimaksudkan agar
putusan mediasi tersebut tidak melanggar hukum serta dapat dilaksanakan secara
efektif di lapangan. Apabila adanya penyelesaian pasti dengan sendirinya ada
permasalahan yang harus diselesaikan, kasus tersebut bersumber pada sengketa
perdata yang berhubungan dengan masalah tanah, dan dalam sengketa tersebut
menyangkut pihak-pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Dalam masalah sengketa tanah seperti halnya
dengan masalah sengketa perdata lainnya, umumnya terdapat seorang individu yang
merasa haknya di rugikan atau dilanggar oleh seorang individu lainnya. Pada
umumnya prosedur penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi ini
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa yaitu dengan jalan menunjuk
BPN sebagai seorang mediator dan disaksikan oleh saksi-saksi. Salah satunya
adalah dalam penanganan sengketa kasus tanah HM No.285/Semper Barat tercatat
atas nama ASKAR SAMSU seluas 69 m2 terletak di Kelurahan Semper Barat,
Kecamatan Cilincing – Jakarta Utara. Dalam kasus ini, terdapat klaim dari pihak
ketiga, yaitu MERRY G DAUD M yang mengajukan keberatan atas terbitnya
sertipikat HM No.285/Semper Barat atas nama ASKAR SAMSU seluas 69 m2. Atas
inisiatif dari pihak Kantor Pertanahan Jakarta Utara, maka penyelesaian
sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur mediasi dengan Kantor Pertanahan
Jakarta Utara selaku mediator dan dapat menyelesaikannya sebagaimana ternyata
dalam Laporan Hasil Mediasi Nomor: LHM/01/OKTOBER/2008/SKP. Berdasarkan warkah,
ASKAR SAMSU memperoleh tanah tersebut berdasarkan Surat Pernyataan Pemilikan
Bangunan Diatas Tanah Negara tgl.17-8-1990 yang diketahui Lurah Semper Barat
tgl. 10-8-1990 No. 121/1.711 dan diketahui Camat Cilincing tgl. 23-8-1993 No.
448/1.711.1 bahwa ASKAR SAMSU menyatakan benar memiliki bangunan rumah yang
terletak di Kav. Tipar Timur Taruna 2 Rt.0013/04 Kel. Semper Barat Kee.
Cilincing diatas tanah Negara seluas 70 m2 yang telah dikuasai sejak tahun
1986. Terhadap terbitnya sertipikat HM No.285/Semper Barat, Sdr. MERRY G DAUD
M. mengajukan keberatan berdasarkan Laporan Pengaduan Merry G Daud M tanggal
15-9-2008. Masing-masing pihak mengakui memiliki bidang tanah yang
disengketakan dengan alat bukti kepemilikan masing-masing. Kedua belah pihak
bersepakat menyelesaikan permasalahan ini dengan damai, dimana pihak kedua
bersedia memberi ganti rugi kepada pihak Pertama dengan jumlah nominal yang
disepakati oleh keduanya, sedangkan pihak Pertama tidak akan mengganggu gugat
keberadaan sertipikat HM No.285/Semper Barat atas Hama ASKAR SYAMSU. Analisis
yuridis dalam kasus ini adalah, bahwa inti dari permasalahan kasus di atas
adanya masalah penguasaan dan pemilikan berdasarkan bukti atas hak berbeda-beda
atau tumpah tindih alas hak, antara alas hak berupa sertipikat yang diterbitkan
berdasar surat pernyataan pemilikan bangunan di atas Tanah Negara tanggal 17
Agustus 1990 dengan atas hak berupa Surat Pernyataan Over alih kavling tanggal
17 Desember 1976.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 12 PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1999,
Kepala Kanwil
Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai
pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah
yang telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 106, 107 dan
112 PMNA/KaBPN No. 3 Tahun 1999, keputusan pembatalan hak atas tanah karena
cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dapat dilakukan karena permohonan
yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
Pengertian cacat administrasi antara lain karena data yuridis dan data fisik tidak
benar. Berdasarkan hasil penelitian,
terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah, Kepala Kantor Pertanahan
meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik serta memeriksa
kelayakan permohonan tersebut sebelum proses lebih lanjut sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam Notulen Gelar Perkara Nomor NGP/01/OKTOBER/ 2008/SKP sebagai
berikut : Pada hari ini Kamis tanggal sembilan bulan oktober tahun dua ribu
delapan, berdasarkan undangan dari Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi
Jakarta utara No. 1450/09.05-SKP tanggal 8 Oktober 2008 bertempat di Ruang
Rapat Kantor Pertanahan Kota Jakarta Utara, telah dilaksanakan Gelar Perkara
membahas Permasalahan tanah HM No. 285/Semper Barat tercatat atas nama ASKAR
SAMSU seluas 69 m2 terletak di Jalan Taruna Jaya 7 Blok III No.20-A Rt.0013/04
Kelurahan Semper Barat Kecamatan Cilincing Kota Administrasi Jakarta Utara.
Bahwa sesuai daftar hadir yang, ikut sebagai peserta Gelar Perkara tersebut,
yaitu ( terlampir) : Bahwa Gelar Perkara dibuka oleh Kepala Seksi Sengketa
Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Jakarta Utara Selaku Pimpinan, Gelar
Perkara, dan kemudian dilanjiutkan paparan (presentasi) oleh Pengolah
data.Bahwa berdasarkan paparan dan pendapat dari para peserta, pimpinan gelar perkara
menanggapi sebagai berikut : Bahwa Gelar Perkara ini dilaksanakan guna
menanggapi pengaduan dari Sdr. MERRY G DAUDM perihal penerbitan sertifikat HM
No. 285/Semper Barat tercatat" atas nama ASKAR SAMSU yang diterbitkan
berdasarkan Surat Pernyataan Pemilikan Bangunan Diatas Tanah Negara tanggal
17-8-1990 yang diduga tidak benar untuk itu perlu dilakukan gelar perkara untuk
menjelaskan permasalahannya guna mendapatkan cara penyelesaian yang tepat terhadap
permasalahn tersebut.
Bahwa selanjutnya Gelar Perkara
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Agar Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara meninjau ulang/
meneliti kembali proses permohonan dan penerbitan HM No.285/Semper Barat yang
tercatat atas nama ASKAR SAMSU untuk memperoleh kepastian berdasarkan data-data
yang ada, serta akan mempertimbangkan pembatalan terhadap sertipikat tersebut,
apabila terbukti ada cacat hukum administrasi dalam penerbitannya.
Dalam sengketa yang dihadapi oleh
para pihak, penyelesaian sengketa tidaklah selalu harus dilakukan di pengadilan
akan tetapi bisa dilakukan sendiri diantara mereka menurut dasar musyawarah dan
mufakat, serta yang terpenting adalah adanya rasa kekeluargaan, karena cara ini
tidak merusak hubungan kekerabatan diantaranya. Akan tetapi apabila didalam
musyawarah untuk mencapai mufakat tersebut mengalami kegagalan, maka biasanya
mereka membawa persoalan tersebut kekelurahan atau kekantor pertanahan, dalam
hal ini kepala desa atau Kepala Kantor Pertanahan yang membantu penyelesaian,
dalam hal ini mereka hanya berperan sebagai penengah atau sering disebut dengan
seorang mediator
2.6 Analisis Penyelesaian Sengketa Tanah Secara Mediasi Di Kantor
Pertanahan Jakarta Utara
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang
pertanahan,khususnya yang terjadi di Wilayah Jakarta Utara dapat dikatakan
tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan meningkat dalam kompleksitas
permasalahannya, maupun kuantitasnya seiring dinamika dibidang ekonomi, sosial dan
politik. Demikian pula penyelesaian sengketa melalui mediasi dilingkungan Badan
Pertanahan Nasional sebenarnya bukan hal baru.Sejak dibentuknya instansi
keagrariaan yang kemudian terintegrasi pada tahun 1972 dengan Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. 88 Tahun 1972 yang mempersatukan 3 (tiga) unit yang ada pada
tiga Departemen yaitu Jawatan Tata Bumi (land use) Departemen Pertanian,
Jawatan Pendaftaran Tanah (Kadaster) Departemen Kehakiman dan Jawatan
Agraria Departemen Dalam Negeri dipersatukan dalam organisasi Direktorat
Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri didalamnya ada Direktorat Pengurusan
Hak-hak Tanah dan salah satu Sub Direktoratnya di sebut dengan Sub Dit
Penyusunan Program dan Bimbingan Teknis (P2BT) dan di tingkat Kantor Direktorat
Propinsi dikenal dengan Seksi Bimbingan Teknis dan Sengketa Hukum (BTSH) yang
bertanggung jawab kepada Kepala Subdit Pengurusan Hak-hak atas Tanah, istilah
mediasi sering digunakan didalam petunjuk penyelesaian sengketa di daerah
dengan kalimat " .....harap saudara bertindak selaku mediator aktif dalam
menyelesaikan sengketa tersebut.
Sengketa dan masalah pertanahan timbul karena
amanat seperti yang di rumuskan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (LN Tahun
1960)tidak di jalankan sebagaimana mestinya. UUPA tersebut tidak mengatur bagaimana
menyelesaikan sengketa atau masalah pertanahan melainkan hanya merumuskan
secara tersurat apa yang harus di lakukan oleh para pelaksana
undang-undang.Menurut ketentuan Pasal 2 UUPA tersebut meminta agar Pemerintah
mengatur, menentukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,persediaan,
pemeliharaan (P4T), hubungan hukum antara orang dengan tanah dan perbuatan
hukum antara orang dengan orang yang bersangkutan dengan tanah. Apabila ketentuan-ketentuan
hukum yang di atur tersebut mengalami penyimpangan dalam pelaksanaannya maka
timbul keadaan yang disebut
masalah atau sengketa pertanahan. Menurut
Sunarjati Hartono menyatakan bahwa hal seperti di atas juga timbul karena
faktor perubahan-perubahan kebutuhan yang terjadi di masyarakat. Diferensiasi
yang terjadi di masyarakat membutuhkan perhatian dari Pemerintah dengan
merencanakan pembangunan sistem hukumnya.Selanjutnya Padmo Wahjono berpendapat
bahwa di dalam Sistem Pemerintahan Negara secara teoritis diperlukan
pokok-pokok aturan berupa: Perlunya ketentuan hukum yang mengatur demi
kepastian, ada hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum tersebut, ada tata cara
pelaksanaannya dan harus ada sanksinya.Justru di dalam penyelenggaraan hukum
pertanahan inilah Pemerintah belum memberikan tanggapan yang sungguh-sungguh
sehingga pencegahan, penanganan dan penyelesaian masalah dan sengketa
pertanahan ini masih merupakan kendala. Berdasarkan hasil penelitian, kendala
yang menonjol adalah kesiapan sumber daya manusia baik intern maupun ekstern di
samping perlu dilakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan
penguatan kewenangan kelembagaan terutama di daerah.
Sumber
daya manusia berkaitan dengan pemahaman para aparat pelaksana dalam penguasaan
wawasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan
pertanahan, ketekunan dalam menghadapi tugas menghadapi masalah dan sengketa
pertanahan untuk memperlihatkan etos kerja yang tinggi serta pembangunan peraturan
perundang-undangan dan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada aparat
pelaksana di daerah. Tanah, sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan
memunculkan konflik maupun sengketa. Jika konflik itu telah nyata (manifest),
maka hal itu disebut sengketa. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 1
Tahun 1999 tentang Tata
Cara Penanganan Sengketa Pertanahan merumuskan bahwa yang dimaksud dengan
"sengketa pertanahan" dalam peraturan tersebut adalah perbedaan
pendapat mengenai:
a. keabsahan suatu hak;
b. pemberian hak atas tanah;
c.pendaftaran hak atas tanah
termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak-pihak
yang berkepentingan maupun Badan Pertanahan Nasional.
Sengketa Pertanahan secara substantif dapat
dikelompokan sebagai berikut :
A. Sengketa Hukum yaitu sengketa
yang berkaitan dengan status hukum: Subyeknya - Perbedaan pandangan atau
penilaian tentang pihak atau orang yang berhak atas suatu bidang tanah (data
yuridis tanah - alas hak); Objeknya - Perbedaan pandangan atau pernilaian
tentang status tanah, status hak atas tanah, letak lokasinya, batas-batasnya
(data fisik tanah) :
1) Sengketa Kepentingan yaitu
yang berkaitan dengan perbedaan kepentingan;
2) Adanya perbedaan kebutuhan
yang di upayakan untuk di wujudkan (bukan keinginan). Adanya perbedaan akses
dan kemampuan untuk mewujudkan kebutuhan.
B.Sengketa
penafsiran yaitu yang berkaitan dengan perbedaan penafsiran:
1) Domein
hukum dari suatu perilaku;
2) Konsekuensi hukum beserta
akibatnya yang terjadi Sumber Sengketa pertanahan dapat dibedakan:
a. Tindakan Melawan Hukum,
seperti:
1) Penyerobotan atau pendudukan
tanah yang di punyai orang lain;
2) Pemindahan patok-patok tanda batas tanah;
3) Penyalahgunaan dokumen surat
tanah atau Keputusan Hukum tertentu
untuk menguasai tanah orang lain,
b. Keputusan Tata Usaha Negara seperti:
1) Pengesahan berita acara pengumpulan dan
pemeriksaan data fisik yang belum di sepakati;
2) Pembukuan data juridis/fisik
dalam buku tanah yang belum mempunyai kepastian hukum;
3) Penerbitan sertifikat yang
data juridisnya (subjek haknya) belum pasti;
4) Surat keputusan Pemberian
Hak/ijin pengadaan tanah.
c. Kebijaksanaan
perundang-undangan negara
1) Pemberian akses yang tidak
sama pada semua kelompok;
2) Penekanan pada persaingan dalam perolehan
hak atas tanah;
3) Pembiaran terhadap penelantaran tanah;
4) Pemarjinalan Hak Ulayat masyarakat adat;
5)Pematisurian Land Reform yang mengakibatkan
kesenjangan dan kemiskinan.
Sedangkan Maria S.W. Sumardjono membagi
secara garis besar tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan dapat dipilah
menjadi lima kelompok, yakni :
a. kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan
rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain;
b. kasus-kasus berkenaan dengan
pelanggaran peraturan land reform;
c. kasus-kasus berkenaan
dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan;
d. sengketa perdata
berkenaan dengan masalah tanah;
e. sengketa berkenaan
dengan tanah ulayat:
2.7
Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan
adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan. Kekuatan Pembuktian, Secara umum
kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga
macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan
pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan
apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan
pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa
yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan
mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal
tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan
bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
A. SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah
dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri
dari :
1. Sistem
Positif
Menurut sistem positif ini, suatu
sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas
tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem
Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah
bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai
dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang
pengadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat
disimpulkan peran mediator membantu memecahkan masalah antara pihak-pihak yang
bersengketa untuk memahami pandangan mereka masing-masing dengan memperhatikan
hal yang paling kecil sekalipun karena dalam mediasi semua hal sangat berguna
dalam penyelesaian sengketa. Sehingga akan muncul diskusi dan saling bertukar
pikiran menyangkut persoalan yang sekiranya menjadi masalah. Tujuan dari
mediasi ini adalah menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaandengan
bantuan mediator tanpa perlu harus melalui pengadilan. Jadi mediator harus
disetujui oleh kedua pihak sehingga seorang mediator tidak boleh memihak
sebelah pihak dan harus adil sesuai fakta yang didapat.
Dari studi kasus yang ada
yaitu sengketa tanah yang terjadi di Jakarta Utara bahwa urutan dari
penyelesaian sengketa tanah adalah sebagai berikut: 1) Adanya pengaduan, 2)
Menelaah permasalahan,3) Pemanggilan kedua belah pihak, 4) Upaya
musyawarah/mediasi 5) hasil, 6) Berita Acara
3.2 Saran
Hendaknya
mediator dalam setiap penyelesaian sengketa tanah harus bisa memberikan
keputusan yang bijaksana, tanpa terpengaruh dengan budaya KKN yang ada di
Indonesia, maka tidak boleh sembarangan dalam memilih mediator. Karena mediator
merupakan kunci dari penyelesaian permasalahan sengketa tanah.
DAFTAR
PUSTAKA
Artikel/Makalah
Nurhasan
Ismail dalam Efektifitas Mediasi dalam
Penyelesaian Sengketa
Pertanahan
Disampaikan pada Penataran Kanwil BPN Jawa Tengah tahun 2008
Runtung
Sitepu, Pemberdayaan Mediasi Sebagai
Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalambidang Ilmu Hukum Adat
pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan, 2006.
Rusmadi
Murad - Lokakarya "Mediasi,
Solusi Tepat Penyelesaian Masalah Pertanahan di Propinsi Jawa Tengah"
Kanwil BPN Propinsi Jawa
Tengah di
Semarang, tgl. 22 Desember 2008.
Soetandyo
Wignjosoebroto, 2006, Konflik:
Masalah, Fungsi dan Pengelolaannya, ...Makalah disampaikan dalam Diskusi
...Pengelolaan dan Antisipasi Ancaman Konflik di Jawa Timur ..., yang
diselenggarakan
Herwandi
– Peran Kantor Pertanahan Dalam Rangka Penyelesaian Sengketa Tanah Secara
Mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta
Utara
Internet