disusun oleh:
I Ketut Yuda Suartana
21. 0880
A - 3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang “Kebijakan Impor Beras”.
Dalam penyusunan
makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Mataram, Oktober 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN .............................................................................. 3
2.1 Impor beras ............................................................................................ 3
2.2
Dampak Impor beras .............................................................................. 4
2.3
Solusi (Mengganti Impor dengan Subsidi) ............................................. 11
BAB
III PENUTUP ...................................................................................... 14
3.1
Kesimpulan .............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karena
keberadaaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia,
beras memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Pada
masa sebelum kemerdekaan, campur tangan pemerintah kolonial Belanda untuk
menjamin keberadaan beras dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan.
Pemerintah kolonial Belanda mengintervesi kecukupan pasokan beras dengan harga
terjangkau bagi komoditi ini melalui berbagai cara. Pada sisi stabilitas harga,
pemerintah kolonial dari waktu ke waktu membuka keran impor bila dibutuhkan dan
mentransportasikannya lebih lanjut pada daerah kepulauan yang membutuhkan,
serta mendirikan satu lembaga yang berperan menstabilisasi harga beras pada
tahun 1939, yang sesungguhnya cikal bakal dari BULOG saat ini. Setelah
kemerdekaan dan sampai saat ini pun beras terus menjadi komoditi sosial politik
strategis bangsa Indonesia.
Jadi untuk
memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri maka pemerintah mengeluarkan kebijakan
impor beras,namun impor beras tidak selalu berdampak baik ada juga pihak yang
merasa dirugikan seperti petani. Kenapa bisa petani yg mengalami kerugian?
Jawaban atas pertanyaan itu akan diulas pada bab II.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini
membahas mengenai kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah indonesia dan
untuk lebih mengetahui dampak langsung yang dirasakan dengan adanya kebijakan
ini.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui kebijakan impor beras
di Indonesia.
2. Mengetahui dampak dari kebijakan
tersebut.
3. Untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen Kebijakan Publik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Impor beras
Pemerintah
(sebagai representasi negara) memiliki kewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan
pangan masyarakat, baik dari segi jumlah beras maupun keterjangkauan harga
beras. Dengan kata lain pemerintah harus menjamin bahwa jumlah beras di pasar
cukup memenuhi kebutuhan semua masyarakat dengan harga terjangkau.
Pemenuhan
kebutuhan beras, dari segi jumlah, bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu
menaikkan produksi pertanian dalam negeri, atau cara kedua dengan melakukan impor
beras. Dalam hal ini pemerintah cenderung memilih melakukan impor daripada harus
meningkatkan produksi dalam negeri. Menaikkan produksi pertanian merupakan
kegiatan yang relatif sulit serta membutuhkan waktu lama. Sulit karena meliputi
berbagai kegiatan seperti penyediaan pupuk murah, peningkatan teknologi pertanian,
sarana penyimpanan yang memadai, saluran distribusi, dan banyak hal lain.
Kompleksitas
masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi pertanian menjadikan
peningkatan produksi sebagai proyek jangka panjang serta berbiaya tinggi. Peningkatan
produksi pangan tidak bisa dicapai dengan cepat, melainkan secara bertahap.
Apalagi sebagai sebuah proyek jangka panjang, peningkatan produksi pertanian
memerlukan ketersambungan (kontinuitas) kebijakan pemerintahan.
Artinya,
pemerintah yang akan datang harus rela dan memiliki komitmen untuk meneruskan
kebijakan pemerintah sebelumnya (yang mencanangkan proyek peningkatan produksi
pertanian).
Sedangkan
jika memilih jalan impor, permasalahan yang dihadapi pemerintah lebih
sederhana. Impor adalah cara instan karena begitu pemerintah mengeluarkan uang,
sejumlah beras akan diterima pemerintah. Lebih gampang lagi, impor tidak memerlukan
perencanaan lintas sektoral (apalagi lintas generasi) serumit dibandingkan
proyek peningkatan hasil produksi.
Dalam
kondisi normal, di pasar berlaku hukum penawaran dan permintaan. Kelangkaan
beras serta merta menaikkan harga beras. Untuk mengontrol harga beras pada
level yang diinginkan, pemerintah melakukan intervensi pasar. Saat harga beras di
pasaran mulai merambat naik pemerintah melakukan operasi pasar, yaitu menjual dalam
jumlah besar beras-beras persediaan pemerintah. Setelah harga berangsur turun,
pemerintah menghentikan operasi pasar. Dengan demikian harga beras akan selalu
stabil pada level yang diinginkan pemerintah.
Di sini
dapat dilihat bahwa ketersediaan (stok) beras pemerintah sangat menentukan
kemampuan intervensi terhadap pasar. Untuk menjamin ketersediaan stok beras,
pemerintah melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam sebanyak 210.000 ton
dengan harga pada kisaran Rp 3.000.
Harga gabah
merosot karena pasar dalam negeri memiliki kelebihan stok gabah. Produksi gabah
petani mencapai 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika dijadikan beras akan
encapai jumlah 35 juta ton beras.
Sementara kebutuhan konsumsi hanya 33 juta ton. Kelebihan stok sebanyak 2 juta
ton yang harusnya dicarikan solusi pemasaran, justru diperparah pemerintah
dengan memasukkan 210.000 ton beras impor. Alasan pemerintah mengimpor beras sebagai
antisipasi kebutuhan konsumsi memang bijaksana. Tetapi sebenarnya Bulog,
sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam penyediaan beras, tidak harus
mengimpor dari luar negeri. Lebih bijak jika Bulog membeli surplus beras petani
pada waktu panen. Kongkretnya dengan membeli stok beras petani yang disebut di
muka sebanyak 2 juta ton.
2.2
Dampak Impor Beras
Indonesia
merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas yang jumlah penduduknya
mencapai 220 juta jiwa. Luas lahan untuk pertanian sekitar 107 juta hektar dari
total luas daratan Indonesia sekitar 192 juta hektar, tidak termasuk
Maluku dan Papua, sekitar 43,19 juta hektar telah digunakan untuk lahan sawah,
perkebunan, pekarangan, tambak dan ladang, sekitar 2,4 juta hektar untuk padang
rumput, sekitar 8,9 juta hektar untuk tanaman kayu-kayuan, dan lahan yang tidak
diusahakan seluas 10,3 juta ha. Pemerintah dalam kaitannya dengan program RPPK
(Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), telah bersedia menyediakan
15 juta hektar untuk lahan pertanian abadi. (Republika, 25/2/2008)
Sehingga sebagian besar dari penduduknya bermata pencaharian sebagai petani,
khususnya petani padi. Karena sebagian besar penduduk Indonesia makanan
pokoknya adalah beras.
Dari
penjelasan di atas, tidak mengherankan kalau pekerjaan sebagai petani paling
besar jumlahnya. Sampai pada tahun 2003 saja jumlah petani di Indonesia telah
mencapai 25,6 juta rumah tangga. Tetapi, sayangnya dari jumlah tersebut, 13,7
juta rumah tangga adalah petani gurem (petani yang hanya memiliki lahan kurang
dari 0,5 ha). (Pande Radja Silalahi dalam Suara Karya, 11/01/2006) Sampai saat
pertanian masih menjadi sektor utama dalam perekonomian nasional. Dengan
hal-hal tersebut, sebenarnya profesi petani sangat cocok dan menguntungkan bagi
penduduk indonesia.
Namun,
kenyataannya hal tersebut sulit terjadi di Indonesia. Setiap panen justru yang
terdengar adalah keluhan petani soal harga gabah yang selalu murah. Jangankan
untung, bisa mengembalikan biaya penggarapan sawah saja sudah bersyukur. Hal
ini terjadi karena pemerintah tidak mampu menjaga berlakunya harga dasar yang
ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 32/1998, sehingga petani
menerima harga gabah jauh di bawah harga dasar. Tujuan dari kebijakan harga
pembelian pemerintah (HPP) adalah agar petani padi menerima harga gabah yang
layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya.
Namun ternyata hal itu tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah.
Dengan
keberadaan tengkulak, seharusnya bisa membantu para petani. Karena petani tidak
perlu susah-susah memasarkan padinya. Para tengkulak akan mendatangi mereka dan
membeli hasil panenannya. Dengan begitu para petani bisa terbantu masalah
penjualan, karena dengan hasil panen yang tidak terlalu besar tidak mungkin
bagi para petani untuk memasarkan sendiri hasil panennya. Selain itu tengkulak
juga sangat mengutungkan para pengusaha padi mitra BULOG dan BULOG itu sendiri,
karena sistem distribusi padi menjadi lebih efisien. Namun walaupun demikian,
ternyata para tengkulak ini bisa dan sering menciptakan harga sendiri sesuai
keinginan mereka. Mereka membeli gabah para petani dengan harga yang sangat
rendah dibawah HPP yang telah ditetapkan pemerintah. Sehingga yang terjadi,
bukannya membantu para petani tetapi malah semakin memperburuk kondisi
perekonomian para petani.
Saat ini HPP
(Harga Pembelian Pemerintah) adalah Rp 2.000,- tetapi di tingkat tengkulak,
gabah hanya dihargai Rp 1.600,- sampai Rp 1.800,- (Jawa Pos, 25/02/2008). Namun
sekarang ini Pemerintah telah resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP)
atas gabah dan beras melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2008 tentang
Kebijakan Perberasan yang sekaligus merevisi Inpres No 3/2007. Berdasar Inpres
tersebut, HPP atas gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan
Rp2.200 per kg (naik Rp200), dan harga gabah kering giling (GKG) di gudang
Bulog menjadi Rp2.840 per kg (naikRp240 per kg). Untuk HPP beras di gudang
Bulog dinaikkan Rp300 menjadi Rp4.300 per kg. Harga pembelian gabah dan beras
di tiga luar kualitas tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Walaupun
demikian, dengan berbagai alasan, para petani masih tetap memilih menjual
gabahnya kepada tengkulak daripada kepada KUD atau badan-badan yang telah
ditunjuk pemerintah.
Dalam hal
ini, BULOG yang seharusnya bertugas dalam pembelian gabah hasil panen dari petani
ternyata kurang menjalankan fungsinya. Selama ini, pemerintah melalui BULOG
membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras,
yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar (atau tengkulak), yang
bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi
ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan
defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar
dinikmati segelintir pedagang.
Ilustrasi menarik
tentang kekuatan oligopoli pedagang beras ini dengan sangat gamblang dijelaskan
dalam satu tulisan Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi, di Harian
Republika (24/01/2006). Menurut Bayu, Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton
dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya
ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan.
Jatuhnya
harga gabah lokal itu juga tak terlepas dari membanjirnya beras impor dan
selundupan di berbagai daerah karena tak ada pengamanan yang baik. (Suara
Merdeka, 21/09/2002). Kebijakan impor harusnya ditempatkan sebagai residual
atau menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri. Tetapi kenyataannya, ketika
musim panen raya tiba beras impor yang lebih murah membanjiri tanah air,
sehingga harga gabah pun turun drastis.
Mulai dari
tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras
per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/
pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini
meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan,
sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas 2 juta ton pertahunnya, yang
membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras.
(Supadi dalam M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall:
2006)
Masalah besar
muncul kembali ketika harga pasar naik, konsumen kebingungan, tetapi petani pun
ikut bingung karena kenaikan harga tidak berimbas pada kenaikan harga gabah.
Kenaikan harga di tingkat konsumen ternyata tidak sebesar kenaikan harga jual
mereka ke tengkulak/distributor. Misalnya naik Rp 500 di konsumen, paling hanya
naik Rp 100 di sisi petani. Belum lagi karena harga pupuk dan alat pertanian
tiba-tiba juga ikut naik, seakan tidak rela membiarkan petani menerima
kelebihan dan berkah. Indikasinya adalah harga tidak diatur oleh supply
(petani) dan demand (konsumen), karena jelas mekanisme pasarnya
terdistorsi sekali. (Ekonomi-Nasional, 03/01/2007)
Pelaku
ekonomi yang paling merasakan dampak langsung impor beras adalah importir beras
dan kaum petani. Hanya saja dampak yang dirasakan bertolak belakang. Importir
memperoleh keuntungan dari selisih harga impor yang lebih rendah dibandingkan
harga domestik.
Petani
mengalami kerugian akibat penurunan harga beras karena naiknya penawaran.
Dampak psikologis juga dialami kaum petani. Mereka tidak termotivasi menanam
padi, membiarkan sawahnya terbengkalai. Padahal tidak mudah bagi mereka
memperoleh pekerjaan lain. Petani perlu memenuhi kebutuhannya, tidak adanya
penghasilan bisa mendorong melakukan tindakan kriminalitas.
Pelaku
ekonomi lain, pemerintah dan masyarakat, tidak merasakan dampaknya secara
langsung. Pemerintah akan memperoleh pemasukan hanya apabila mengenakan tarif
impor / pajak terhadap beras yang diimpor. Namun tidak mendapatkan apa pun jika
tidak memberlakukan tarif.
Konsumen,
yaitu masyarakat, tidak akan merasakan keuntungan atau kerugian yang berarti
karena jumlah konsumen yang begitu banyak. Betapapun besar keuntungan /
kerugian akibat impor beras yang dialami konsumen secara keseluruhan namun
nilainya bagi masing-masing konsumen secara individu relatif kecil bahkan tak
terasa sama sekali. Dengan demikian dua
pelaku ekonomi yang berhadapan karena perbedaan kepentingan adalah importir
beras dan kaum petani.
Jumlah
importir beras yang relatif sedikit (sekitar 20-an pemain) memperkuat
koordinasi di antara mereka untuk mengadakan pendekatan dan lobi kepada pejabat
pemerintah guna menurunkan peraturan bagi kepentingannya. Keuntungan yang
diciptakan akan sangat berarti bagi kelompok mereka karena hanya dinikmati
segelintir anggotanya.
Di sisi lain,
jumlah petani yang begitu banyak dan sebagian besar merupakan masyarakat kecil,
menyebabkan posisi mereka lemah di hadapan penguasa (pemerintah).
Tindakan-tindakan aktif dalam rangka mencegah atau pembatalan aturan pemerintah
mengenai impor beras hanya akan merugikan mereka sendiri.
Idealnya,
pemerintah harus melindungi sektor-sektor perekonomian yang menyerap banyak
tenaga kerja. Khususnya tenaga kerja nonterampil berupah rendah yang sulit
menemukan pekerjaan lain seandainya mereka kehilangan pekerjaan yang sudah ada.
Contohnya kaum petani. Namun kenyataannya pemerintah malah mengeluarkan
kebijakan yang merugikan bagi kaum petani.
Fenomena ini
dalam ekonomi internasional dapat dijelaskan dengan teori kelompok penekan (pressure
group theory). Teori ini pada intinya mengemukakan, dalam kenyataan yang
menerima keuntungan atas kebijakan pemerintah dalam perdagangan internasional
bukan sektor ekonomi yang menyerap banyak tenaga kerja, melainkan kelompok
industri yang terorganisir serta memiliki tradisi politik yang cukup kuat.
Melalui organisasi
yang mapan, mereka lebih mampu memperjuangkan kepentingannya dibanding sektor
atau kelompok yang tidak ditunjang struktur organisasi yang kokoh.
Kelompok
importir beras karena sudah menikmati keuntungan yang berlimpah akan berusaha
sekeras mungkin mempertahankannya. Hal ini akan semakin menjadi-jadi apabila
pemerintah enggan mengubah kebijakan perdagangan. Keengganan disebabkan bisa
menimbulkan perubahan drastis dalam "distribusi pendapatan" terlepas
dari siapa yang diuntungkan atau yang dirugikan.
Penyempitan lahan pertanian telah
menenggelamkan para petani sampai batas leher mereka, sementara impor adalah
riak kecil yang akan seutuhnya menenggelamkan petani. Secara sederhana impor
dan kemiskinan petani akan
berkeliling dan dalam lingkaran setan sebagai berikut:
Asumsi pemerintah bahwa akan terjadi kekurangan pangan menjadi
dasar kebijakan melakukan impor beras. Impor yang dilakukan berhasil menurunkan
harga beras di pasaran. Tetapi turunnya harga beras (yang tidak diimbangi
subsidi bagi petani) membuat petani rugi. Kerugian (dalam arti harga jual lebih
rendah dari biaya produksi yang dikeluarkan) membuat pertanian bangkrut. Akhirnya (sebagian) petani memutuskan beralih
profesi dan/atau mengkonversi lahan mereka ke bidang lain yang dianggap lebih
menguntungkan secara finansial.
Pada musim tanam berikutnya,
berkurangnya petani serta terjadinya konversi lahan menimbulkan kekurangan
pangan. Demi menutup kekurangan pangan, pemerintah kembali melakukan impor
beras. Tentunya jumlah beras yang diimpor menjadi lebih besar dari sebelumnya.
2.3 Solusi (Mengganti Impor dengan Subsidi)
Menurunkan harga beras untuk
menjamin kebutuhan masyarakat luas tidak bisa dilakukan dengan menekan
kesejahteraan petani. Petani adalah juga rakyat yang memiliki hak sama untuk
sejahtera dan mendapat untung dari usaha yang mereka lakukan. Artinya, harga
beras yang relatif tinggi (terdapat selisih positif antara biaya produksi
dengan harga pasaran) dan menguntungkan petani seharusnya tidak dilihat sebagai
faktor yang merugikan kepentingan masyarakat lain.
Pemerintah harus bersikap adil, di satu
sisi melindungi ketersediaan dan keterjangkauan beras bagi masyarakat luas,
sementara di sisi lain juga harus menjaga kesejahteraan (tingkat keuntungan
jual beli) petani. Maka yang harus dilakukan adalah memberikan subsidi kepada
petani lokal. Subsidi yang diberikan, akan menguntungkan dan mengurangi biaya
produksi yang harus dikeluarkan petani. Serta, di sisi lain akan membuat harga
beras di pasaran relatif rendah. Dengan demikian masyarakat luas dapat
menikmati beras dengan harga terjangkau tanpa harus mengorbankan petani. Bukankah
tujuan negara memang mencapai bonum publicum?
Kebijakan impor harus segera dihentikan
dan diganti dengan kebijakan jangka panjang peningkatan hasil pertanian.
Peralihan dari kebijakan impor menuju kebijakan peningkatan hasil produksi
tidak semudah membalik telapak tangan. Perubahan ini hanya bisa dilakukan
secara bertahap. Untuk sementara, sebelum benar-benar ditemukan format
pembangunan pertanian yang tepat, subsidi harus diberikan kepada petani.
Subsidi ditujukan untuk mengurangi biaya produksi yang meliputi penyediaan bibit
padi, pupuk, serta peralatan pendukung lainnya.
Masih dalam Sensus Pertanian 2003,
sejumlah 25% dari petani mengaku kesulitan mendapat sarana produksi, seperti
pupuk dan pestisida. Sensus juga
menunjukkan bahwa kesulitan tersebut diakibatkan mahalnya harga
(59%), lokasi terpencil (17%), sarana produksi tidak tersedia (13%), dan
sisanya karena alasan lainlain.
Dengan adanya subsidi sarana produksi
(yang didukung penghentian impor beras) petani (gurem) akan mendapat keuntungan
dari hasil pertaniannya. Meskipun keuntungannya relatif kecil, dengan
pengelolaan yang tepat akan bisa dipergunakan untuk mematahkan siklus
kemiskinan petani. Pematahan siklus kemiskinan petanidilakukan dengan
mengarahkan penggunaan keuntungan tersebut ke dalam sektoryang paling
strategis, yaitu (pembiayaan) pendidikan. Sebagai ilustrasi tentang intervensi
pendidikan dalam mematahkan kemiskinandan meningkatkan kesejahteraan keluarga
petani, bisa disimak bagan berikut:
Kita ambil contoh keluarga petani
berlahan o,5 ha yang memiliki tiga orang anak. Kewajiban petani (sebagai orang
tua) adalah mewariskan sawah seluas 0,5 ha dengan adil kepada ketiga anaknya.
Jika dilakukan, pewarisan ini akan mengakibatkan luas lahan yang dikuasai
masing-masing anak hanya 0,166 ha. Penguasaan yang semakin menyempit,
mengakibatkan mereka semakin terpuruk dalam kemiskinan karena tidak mencukupinya
penghasilan pertanian untuk bertahan hidup.
Dengan campur tangan pemerintah dalam
subsidi pertanian (apalagi jika diimbangi dengan subsidi pendidikan), keluarga
petani tersebut dapat mengirimkan anak kedua dan anak ketiga ke sekolah. Dengan
asumsi bahwa sekolah mampu meningkatkan ketrampilan murid-muridnya, maka kedua
anak petani akan mampu bersaing di luar sektor pertanian. Mereka akan
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan tentu saja mengalami peningkatan
penghasilan.
Di sisi lain, karena anak kedua dan anak
ketiga bekerja di sektor non-pertanian, maka lahan pertanian keluarga seluas
0,5 ha dikelola sepenuhnya oleh anak pertama saja. Dengan demikian pemecahan
lahan pertanian tidak terjadi. Meskipun luas lahan yang sama tidak membuat anak
pertama menjadi lebih sejahtera, namun setidaknya dia tidak terpuruk menjadi
lebih miskin.
Sementara pada anak kedua dan ketiga
yang bekerja di sektor non-pertanian, tentu memiliki penghasilan yang (relatif)
lebih besar. Penghasilan ini bisa diarahkan sebagai investasi pertanian di
lahan keluarga mereka. Investasi yang dilakukan terutama dalam bidang
peningkatan teknologi pertanian.
Pertama, jika kita asumsikan
mayoritas petani di Indonesia melakukan hal yang sama, maka peningkatan
produksi padi akan menciptakan surplus beras nasional. Stok berkelimpahan akan
menjamin kecukupan pangan masyarakat.
Kedua, bagi keluarga petani itu
sendiri, peningkatan produksi memberikan keuntungan finansial. Keuntungan ini
bisa diinvestasikan kembali kepada sektor pendidikan. Dengan demikian siklus
peningkatan kualitas pendidikan dan ketersediaan pangan akan terus berulang
dengan derajat hasil yang semakin membesar.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tindakan
pemerintah mengambil kebijakan impor beras sangat tidak tepat karena lebih
banyak menimbulkan kerugian bagi negara walaupun tujuannya menjaga stabilitas
pangan namun adanya alternatif lain seperti memberikan subsidi kepada para
petani sehingga bisa meningkatkan produksi padi.
Semua
kajian yang berupaya menemukan cara memutus lingkaran kemiskinan petani tidak
ada artinya tanpa keinginan serius dari pemerintah untuk menjalankan. Yang
paling dibutuhkan dari pemerintah adalah keberpihakan ideologis kepada petani.
Pemerintah harus memiliki good will untuk melepaskan petani dari jeratan
kemiskinan struktural, bukannya justru mengabaikan mereka demi memenuhi
sopan-santun hubungan perdagangan internasional.
Biaya-biaya
manusiawi yang paling menekan adalah yang berkenaan dengan kekurangan dan penderitaan
fisik. Tuntunan moral yang paling mendesak dalam pengambilan kebijaksanaan
politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.”
DAFTAR
PUSTAKA
www.cybernews.com
www.Jakartrapost.com
www.hariankompas.com